Perbedaan Jenis kelamin pada Penyakit Autoimun Ditinjau dari Perspektif Patologik
DeLisa Fairweather, Sylvia Frisancho-Kiss , dan Noel R. Rose
(The American Journal of Pathology, Vol. 173, No. 3, September 2008)
(Am J Pathol 2008, 173:600–609; DOI: 10.2353/ajpath.2008.071008)
Dari Departemen Ilmu Kesehatan Lingkungan dan Patologi, dan Departemen Mikrobiologi dan Imunologi Molekuler W. Harry Feinstone, Institusi Medikal Johns Hopkins, Baltimore, Maryland
Abstrak
Penyakit autoimun mempengaruhi sekitar 8% dari populasi, 78% di antaranya adalah wanita. Alasan tingginya prevalensi pada wanita tidak jelas. Wanita diketahui merespon infeksi, vaksinasi, dan trauma dengan meningkatkan produksi antibodi dan respon imun lebih dominan oleh T helper (Th)2, sedangkan respon oleh Th1 dan peradangan biasanya lebih berat pada pria. Tinjauan (jurnal) ini membahas tentang distribusi penyakit autoimun berdasarkan jenis kelamin dan usia, menunjukkan bahwa penyakit autoimun berkembang dari suatu kelainan akut yang berhubungan dengan respon imun peradangan menjadi suatu kelainan kronis yang berhubungan dengan fibrosis pada kedua jenis kelamin. Penyakit auotoimun yang lebih sering pada laki-laki biasanya menimbulkan gejala klinis sebelum usia 50 tahun dan ditandai oleh inflamasi akut, penampilan autoantibodi, dan respon imun proinflamasi Th1. Sebaliknya, penyakit autoimun yang dominan pada perempuan yang bermanifestasi selama fase akut, seperti penyakit Graves’ dan systemic lupus erythematosus (SLE), adalah penyakit yang dikenal dengan antibody-mediated pathology (kelainan yang diperantarai antibodi). Penyakit autoimun dengan peningkatan insidensi pada wanita yang manifestasi klinisnya pada usia di atas 50 tahun berhubungan dengan kelainan kronik, fibrotic Th2-mediated pathology. Respon Th17 meningkatkan peradangan akut dan fibrosis kronis. Perbedaan antara kelainan akut dan kronis pada awalnya diabaikan, tapi sangat mempengaruhi pemahaman kita tentang perbedaan jenis kelamin pada penyakit autoimun.
Penyakit autoimun dikategorikan sebagai penyakit ketiga paling umum dari penyakit di Amerika Serikat setelah kanker dan penyakit jantung, mempengaruhi sekitar 5 - 8% dari populasi atau 14,7 - 23,5 juta penduduk. Perkiraan konservasi menunjukkan bahwa sekitar 78% dari orang-orang yang mengalami penyakit autoimun adalah wanita. Untuk beberapa waktu telah diketahui bahwa dasar respon imun berbeda antara laki-laki dan perempuan. Wanita merespon infeksi, vaksinasi, dan trauma dengan meningkatkan produksi antibodi, sedangkan peradangan biasanya lebih berat pada pria yang mengakibatkan tingginya kematian pada pria dan perlindungan terhadap infeksi pada wanita.
Antibodi memberikan perlindungan yang penting terhadap infeksi, dan merupakan kunci respon proteksi yang diinduksi oleh vaksinasi. Secara alami autoantibodi sering ditemukan dalam serum manusia normal dan penting dalam pembersihan debris seluler yang disebabkan oleh peradangan atau kerusakan fisik. Namun, autoantibodi dapat menyebabkan kerusakan dengan mengikat antigen diri sendiri (self-antigen) dan mengaktifkan kaskade komplemen, mengakibatkan sitotoksisitas langsung atau kelainan yang berhubungan dengan kompleks imun (IC). Sejumlah autoantibodi yang berbeda dijumpai secara individual merupakan alat prediksi yang baik tentang risiko dari perkembangan penyakit autoimun. Sebagai contoh, perkiraan berdasarkan hubungan kekerabatan dalam satu tingkat menunjukkan bahwa kemungkinan seorang anak mengalami diabetes tipe 1 dalam waktu 5 tahun adalah 10% pada yang terdapat satu autoantibodi, 30% untuk dua autoantibodi, dan 60 - 80% jika terdapat tiga autoantibodi. Dengan demikian, risiko untuk mengalami penyakit autoimun meningkat sesuai meningkatnya jumlah autoantibodi, dan jumlah autoantibodi meningkat sesuai usia, terlepas dari jenis kelamin (Gambar 1). Jadi meskipun respon antibodi meningkat untuk melindungi wanita dari infeksi, ini juga akan meningkatkan risiko berkembangnya penyakit autoimun.
Dengan cara yang sama, sel-sel imun dapat merusak jaringan secara langsung dengan membunuh sel-sel atau secara tidak langsung dengan mengeluarkan sitokin sitotoksik, enzim, atau intermediet nitrogen/oksigen reaktif. Sitokin dan mediator lain yang dihasilkan oleh sel-sel mast (MCs) dan makrofag merekrut sel-sel radang, seperti netrofil, makrofag, dan sel T, ke lokasi kerusakan. Sel-sel T CD4+ telah diklasifikasikan sebagai T helper (Th)1, Th2, atau Th17 tergantung pada pelepasan interferon (IFN)-γ, interleukin (IL)-4, atau IL-17, masing-masing secara tersendiri. IFN-γ dan IL-17 merupakan sitokin proinflamatori terkait dengan penyakit autoimun inflamasi organ-spesifik seperti miokarditis, di mana IFN-γ memiliki peran penting dalam merekrut monosit / makrofag dan netrofil dan IL-17 dalam merekrut netrofil dan mengaktifkan fibroblas. IL-17 terlibat dalam penyakit autoimun maupun penyakit alergi dan terdiri dari enam anggota keluarga termasuk IL-17 (juga disebut IL-17A), IL-17B, IL-17C, IL-17D, IL-17E (juga disebut IL-25), dan IL-17F. IL-17 dapat bertindak secara sinergis dengan tumor necrosis factor (TNF)-ά dan IL-1β atau IFN-γ untuk meningkatkan fibrosis atau respon Th1, secara sendiri-sendiri (khusus). IL-4, di sisi lain, merekrut sel B dan eosinofil dan mengaktifkan sel-sel B untuk menghasilkan autoantibodi terkait dengan IC-mediated autoimmune diseases (penyalit autoimun yang diperantarai kompleks imun) seperti penyakit Graves' dan lupus eritematosus sistemik (SLE) (Gambar-1).
Sel-sel T Regulator (Tregs) di jaringan perifer melakukan down-regulate pada respon Th1, Th2, dan Th17 dan mengurangi inflamasi akut pada penyakit autoimun. Tregs menghambat inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk cell-to-cell contact-induced apoptosis dan/atau memproduksi sitokin anti-inflamasi, seperti IL-10 dan transforming growth factor (TGF)-β. Tregs telah diperlihatkan mencegah perkembangan penyakit autoimun pada hewan model dan mengurangi kelanjutan penyakit. Data masih muncul pada hubungan antara IL-4, IL-17, IFN-γ, dan penyakit autoimun. Sejauh ini IL-4 dan IFN-γ telah diketahui menghambat respon IL-17, tetapi peran yang tepat dari IL-17 pada patogenesis dari banyak penyakit autoimun masih belum dapat dipastikan.
Generasi Respon Th oleh Reseptor-reseptor Pengenalan Pola
Respon kekebalan tubuh terhadap infeksi, ajuvan, cedera fisik, atau jaringan sendiri pada prinsipnya sama. Itu karena sistem imun mengenali kehadiran organisme infeksius dan kerusakan jaringan dengan menggunakan reseptor pengenalan pola seperti Toll-like receptors (TLRs). Kerusakan jaringan disebabkan oleh agen fisik atau mikroba melepaskan protein matriks ekstraseluler (sendiri) seperti hyaluronan dan fibronektin, yang merangsang TLR4 pada makrofag yang mirip dengan peptida bakteri atau virus. Pengenalan agen infeksius atau self-antigen (s) oleh TLR pada antigen-presenting cells seperti sel mast, makrofag, atau sel dendritik memulai suatu kaskade proinflamatori yang melibatkan TNF-ά dan IL-1β dan faktor-faktor transkripsi MyD88 dan nuclear factor (NF)-κB mengakibatkan respons inflamasi akut. Sinyal TLR menghasilkan respons Th1 karena induksi transkripsional IFN-γ oleh MyD88, NF-κB, IL-12-induced STAT4, dan/atau aktivasi kaspase-1 oleh IL-18. IL-17 dihasilkan oleh aktivasi reseptor TLR/MyD88 dan NOD-like receptors (NLRs) setelah infeksi Mycobacterium. Kami telah menunjukkan bahwa TLR4 sinyaling setelah infeksi oleh coxsackievirus B3 (CVB3) menginduksi respons Th1 pada tikus BALB/c jantan oleh IL- 18-induced mechanism lebih jarang dari jalur klasik IL-12/STAT4-induced IFN-γ pathway. Namun, tikus betina BALB/c merespon infeksi CVB3 dengan meningkatkan respon Th2 (Gambar 2), dan meningkatkan jumlah CD4+ Foxp3+ Tregs dengan up-regulator reseptor pada sel mast dan makrofag disebut T-sel imunoglobulin-musin-3 (Tim-3). Tim-3 mengurangi ekspresi TLR4 pada wanita dalam innate immunity, sehingga menghambat respon proinflamatori dan meningkatkan ekspresi CTLA-4 pada sel T dan pengembangan peran populasi CD4+Tim-3+CTLA4+ Treg. Pola anti-inflamasi untuk Tim-3 yang mirip telah ditemukan pada model lain penyakit autoimun termasuk diabetes dan experimental encephalomyelitis (EAE), multiple sclerosis (MS) pada model murin, di mana Tim-3 ditunjukkan menginduksi apoptosis sel Th1 melalui mekanisme yang diperantarai reseptor. Dengan demikian, jantan dan betina menanggapi infeksi atau inokulasi ajuvan dengan meningkatkan ekspresi TLR/NLR, tapi respon proinflamatori pada betina dilemahkan oleh inhibisi ekspresi TLR4 oleh Tim-3 dan meningkatkan Tregs.
Ekspresi TLR pada antigen-presenting cells adalah up-regulasi (permukaan atau intraseluler) dalam respons terhadap infeksi bakteri, virus, atau inokulasi dengan ajuvan seperti complete Freund’s adjuvant (CFA) dan/atau toksin pertusis, di mana digunakan self-antigen untuk menginduksi penyakit autoimun pada hewan model. Meskipun agen seperti CVB3 dan toksin pertusis menyebabkan respon Th1 yang dominan karena aktivasi TLR4, model penyakit autoimun menggunakan CFA menghasilkan respons Th17 yang lebih dominan karena komponen Mycobacterium dari ajuvan. CFA digunakan untuk menginduksi autoimunitas pada beberapa model penyakit autoimun termasuk EAE, collagen-induced arthritis (CIA) [model dari rheumatoid arthritis (RA)], dan miokarditis autoimun eksperimental (model miokarditis akut yang berkembang menjadi dilated cardiomyopathy). TLR sinyaling tidak hanya menginduksi imunitas Th1-secara langsung sebagai respon terhadap infeksi tapi juga memberikan sinyal negatif yang ampuh untuk mencegah perkembangan sel-sel Th2. Satu pengecualian adalah sinyal TLR2, yang akan meningkatkan respon Th2 dan IL-10 sehingga menghambat respon imun Th1. Namun, keterlibatan TLR2 dapat meningkatkan produksi IFN-γ dari sel-sel Th1 yang sudah mengalami diferensiasi. Meskipun secara bertahap sel-sel T bergeser ke respon Th1 atau Th2 yang lebih dominan karena transcriptional silencing dari IL-4 oleh T-bet/Runx3 atau inhibisi transkripsi IFN-γ oleh metilasi tapak spesifik, masing-masing, IFN-γ, IL-4, dan IL-17 semua dapat hadir dalam respon adaptif (Gambar 2). Jadi, semua lengan respon imun (yaitu, IL-4 yang meransang sel B /antibody-mediated response dan IL-17/IFN-γ-driven cell-mediated response) diperlukan dalam pembersihan infeksi secara efektif dan perbaikan jaringan yang rusak.
Patologi Akut versus Kronis dalam Penyakit Autoimun
Inflamasi akut adalah respon yang cepat terhadap infeksi atau cedera jaringan yang menyebabkan lekosit dan protein plasma bergerak ke lokasi cedera. Dari perspektif patologis, inflamasi akut mengikuti urutan kejadian, suatu edema segera dihasilkan oleh produk mediator dari sel mast dan makrofag, diikuti oleh masuknya netrofil dan monosit / makrofag ke tempat cedera dalam beberapa hari berikutnya, diikuti oleh respon-adaptif oleh respon sel B dan T pada minggu pertama atau kedua. Inflamasi akut dapat melibatkan respon yang didominasi Th1 (makrofag / netrofil) dan/atau respon Th17 (netrofil) seperti yang terjadi setelah infeksi virus atau bakteri atau cedera; atau respon yang didominasi Th2 (eosinofil) seperti yang terjadi pada asma dan alergi. Kebanyakan respon inflamasi akut tidak bermanifestasi secara klinis sebagai penyakit autoimun dan pulih begitu infeksi telah dibersihkan atau jaringan yang rusak disembuhkan; di mana dalam kebanyakan kasus patologi akut mengalami kesembuhan tanpa terlihat kerusakan jaringan permanen. Hal ini menjelaskan mengapa, untuk banyak penyakit autoimun, fase akut awal sering silent, tidak terdapat tanda-tanda klinis atau gejala penyakit kecuali jika peradangan menetap. Beberapa mekanisme bertanggung jawab dalam pemulihan inflamasi akut termasuk Tregs, sitokin anti-inflamasi seperti IL-4, IL-10, atau TGF-β, dan apoptosis sel-sel radang. Jika peradangan akut tidak mengalami resolusi atau jaringan tidak mampu beregenerasi, maka respon akut dapat berlanjut ke keadaan inflamasi kronis yang ditandai dengan infiltrasi mononuklear (makrofag, limfosit, dan sel plasma), kerusakan jaringan/nekrosis, dan fibrosis tergantung pada sifat dari jaringan atau organ yang terlibat. Fibrosis adalah ciri khas dari patologi kronis. Proliferasi fibroblas dan deposisi kolagen telah terbukti akan ditingkatkan oleh TNF, IL-1β, IL-4, IL-13, IL-17, dan TGF-β1 pada kebanyakan organ yang diperiksa. Dalam penyakit autoimun, patologi kronis ditandai oleh fibrosis, peningkatan jumlah autoantibodi, dan gambaran dari respon imun tipe Th2 atau Th17 (Gambar 1). Pada pria, hal ini mungkin terjadi karena pergeseran bertahap dari respon Th1 ke Th2 dengan pertambahan usia perkembangan menuju fibrosis pada individu yang rentan atau respon proinflamatori Th17 yang menyebabkan fibrosis kronis (Gambar 1). Selain itu, suatu peningkatan TNF/IL-1, respon imun alami yang dirangsang TLR pada individu atau tikus yang rentan dapat meningkatkan risiko berkembangnya penyakit autoimun kronis karena sifat proinflamatori dan profibrotik dari TNF dan IL-1β, terlepas jenis kelamin. Tingginya respon proinflamatori TNF/IL-1 adalah karakteristik dari kebanyakan hewan model dengan penyakit autoimun yang diinduksi oleh CFA dan self-peptides, seperti EAE, miokarditis autoimun eksperimental, dan CIA.
Penyakit autoimun yang lebih sering pada laki-laki, seperti miokarditis dan ankylosing spondylitis, biasanya bermanifestasi nyata secara klinis (yaitu, menunjukkan tanda-tanda dan gejala penyakit klinis) lebih awal dalam kehidupan dan ditandai dengan inflamasi akut (yaitu, makrofag, netrofil, dan sel T) (Gambar 1, lihat yang ditebalkan), penampilan autoantibodi, dan respon imun proinflamatori (Gambar 2). Satu pengecualian adalah idiopathic pulmonary fibrosis, yang manifestasinya di kemudian hari dengan kejadian yang lebih tinggi pada laki-laki (Gambar 1). Pada idiopathic pulmonary fibrosis, fase akut awal penyakit klinis tidak menimbulkan gejala nyata, tetapi tanda-tanda dan gejala penyakit muncul begitu fibrosis paru terbentuk. Penyakit autoimun yang dominan pada wanita yang bermanifestasi klinis pada fase awal akut termasuk autoimmune thrombocytopenia purpura, myasthenia gravis, penyakit Graves', dan SLE (Gambar 1, lihat yang ditebalkan). Menariknya, penyakit-penyakit ini adalah penyakit autoimun di mana kelainan dengan mediator antibodi telah diketahui jelas. Autoantibodi terhadap platelet menginduksi trombosis pada purpura trombositopenia autoimun, autoantibodi terhadap transmisi blok reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction menyebabkan myasthenia gravis, autoantibodi dan kompleks imun yang didahului trauma jaringan pada SLE, dan autoantibodi terhadap reseptor tirotropin menstimulasi sel-sel tiroid menyebabkan penyakit Graves'. Generasi dari autoantibodi antigen-spesifik, seperti antibodi yang dapat mengikat reseptor asetilkolin, adalah semua yang dibutuhkan untuk memicu kelainan di mana penyakit ini menimbulkan gejala klinis pada awal kehidupan begitu autoantibodi diproduksi dalam jumlah yang cukup. Sebaliknya, penyakit autoimun yang gejala klinisnya muncul di kemudian hari dalam kehidupan wanita berhubungan dengan kelainan kronis, fibrosis, dan peningkatan jumlah autoantibodi (Gambar 1). Dengan demikian, penyakit autoimun yang dominan pada pria yang manifestasinya dini, fase proinflamatori berhubungan dengan inflamasi akut, sedangkan penyakit yang lebih dominan pada wanita yang manifestasinya dini, fase akut terutama berhubungan dengan kelainan yang diperantarai antibodi (yaitu, purpura trombositopenia autoimun, myasthenia gravis, lupus, dan penyakit Graves ') (Gambar 1). Pola ini sesuai dengan studi yang memeriksa respon imunologi akut terhadap infeksi atau trauma pada laki-laki (Th1, inflamasi) dan perempuan (Th2, antibodi).
Di sisi lain, penyakit autoimun yang kejadiannya meningkat pada wanita yang manifestasi klinisnya timbul pada usia lanjut (yaitu melewati umur 50) ditandai oleh peradangan kronis, fibrosis, peningkatan jumlah autoantibodi, dan respon imun tipe Th2 (Gambar 1, lihat yang ditebalkan) . Dengan demikian mengapa penyakit autoimun lebih sering terjadi pada wanita? Dua faktor telah bekerja sama untuk meningkatkan prevalensi penyakit ini pada wanita. Pertama, respon imun tipe Th2 terhadap infeksi atau trauma pada wanita menekankan pada patologi dengan mediator antibodi baik akut maupun kronis (Gambar 1). Kedua, pria meninggal pada usia lebih dini akibat penyakit jantung (termasuk aterosklerosis dan miokarditis), diabetes, dan kanker, penyakit-penyakit yang prevalensinya lebih tinggi pada pria. Respons Th2 yang diperantarai IL-4 melindungi wanita dari inflamasi akut berat dengan inhibisi transkripsional produksi IFN-γ dan dengan meningkatkan anti-inflamasi Tim-3 dan populasi sel Treg (yaitu, CD4+Tim-3+CTLA4+ dan CD4+Foxp3+Treg klasik). Dengan demikian, tingginya respon proinflamasi Th1 terhadap infeksi pada laki-laki meningkatkan keparahan inflamasi akut dan resiko kematian dini sehingga laki-laki rentan untuk berkembangnya penyakit autoimun kronis tidak mungkin bertahan untuk berkembangnya penyakit. Perbedaan antara patologi akut dan kronis pada penyakit autoimun telah terabaikan tapi terutama memberi dampak pemahaman kita tentang patogenesis penyakit dan menyediakan kerangka kerja untuk memahami perbedaan dalam prevalensi penyakit autoimun antara pria dan wanita.
Regulasi Inflamasi oleh Hormon Seks
Hormon seks, seperti estrogen, testosteron, dan progesteron, dipercaya menjadi mediator bagi banyak respon imun yang perbedaannya berdasarkan jenis kelamin dan untuk memperhitungkan perbedaan jenis kelamin dalam prevalensi penyakit autoimun. Estrogen dan androgen secara langsung mempengaruhi respon imun dengan berinteraksi dengan reseptor hormon pada sel-sel imun. Demikian pula, reseptor sitokin (misalnya IL-1R, IL-18R) ditemukan pada jaringan penghasil hormon, menunjukkan regulasi timbal balik dari respon imun. Faktor lain yang harus dipertimbangkan ketika memeriksa perbedaan jenis kelamin adalah efek dari hormon seks pada organ atau jaringan target (Gambar 1). Sebagai contoh, reseptor estrogen dan/atau reseptor androgen dalam jantung ditemukan tidak hanya pada sel-sel imun yang berinfiltrasi tapi juga dalam otot jantung, otot polos, dan sel-sel endotel.
Interaksi tepat antara hormon dan respon imun bawaan setelah infeksi baru mulai dipahami. Meskipun kebanyakan penyakit autoimun menunjukkan bias yang kuat pada wanita. Studi tentang efek estrogen pada fungsi kekebalan tubuh masih kontradiksi. Sudah jelas bahwa estrogen merangsang produksi antibodi (dan autoantibodi) oleh sel B. Estrogen juga telah terbukti dapat meningkatkan kadar IL-4, IL-10, dan TGF-β dan meningkatkan ekspresi CD80 dan Foxp3, yang meningkatkan CD4+Tim-3+CTLA4+ dan populasi CD4+CD25+Foxp3+Treg klasik. Meskipun kadar estrogen pada periovulatori tinggi untuk kehamilan menghambat sel T manusia dan tikus, ia memiliki efek yang berlawanan pada kadar yang rendah. Selanjutnya, estrogen menghambat produksi TNF-ά dari sel-sel mononuklear darah tepi manusia dihasilkan pada pria atau wanita hanya jika diberikan dengan lipopolisakarida, sebuah ligan untuk TLR4, namun memiliki efek sebaliknya jika estrogen diberikan tanpa lipopolisakarida. Hasil serupa juga diperoleh pada tikus yang diimunisasi dengan Mog/CFA di EAE atau dalam sel-sel murin yang diberikan lipopolisakarida. Meskipun banyak studi telah menunjukkan bahwa estrogen dapat merangsang proliferasi sel T, pada kebanyakan kasus komponen Treg dari kompartemen CD4 atau CD3 tidak diperiksa. Kami dan lainnya menemukan bahwa tikus betina mengalami peningkatan jumlah populasi CD4+Foxp3+ Treg setelah infeksi atau terapi dan juga bahwa induksi respon perlindungan ini tergantung pada sinyaling TLR yang terjadi selama immunitas alami (innate immunity). Hasil ini sesuai dengan studi yang menunjukkan bahwa estrogen, melalui reseptor estrogen-ά, secara langsung men-down-regulasi respon NF-κ B dan Th1 dalam berbagai tipe sel manusia dan murin. Estrogen sangat kuat untuk menghambat jalur proinflamatori yang diinduksi lipopolysaccharide/TLR4 pada sel-sel manusia, dan efektif dalam menghambat respon Th1 baik pada tikus jantan maupun betina. Bagaimana kita merujuk temuan yang tampaknya bertentangan? Satu jawaban mungkin terdapat dalam temuan di mana estrogen menstimulasi produksi IFN-γ dari sel T tetapi menghambat IFN-γ dari makrofag dan sel dendritik. Dengan demikian, peran estrogen sebagai inhibitor akan menjadi sangat penting dalam imunitas alami ketika penyakit autoimun mulai terjadi, seperti yang terjadi pada EAE. Selain itu, estrogen telah ditemukan dapat meningkatkan fibrosis karena kemampuannya untuk merangsang IL-4, TGF-β, dan fibroblast growth factor. Secara keseluruhan, studi-studi ini menunjukkan bahwa pada dosis tinggi dan / atau selama respon imun alami terhadap infeksi atau estrogen ajuvan menghasilkan anti-inflamasi, respon Th2 profibrotik.
Penelitian sedikit lebih jauh dilakukan tentang peran androgen pada imunitas. Beberapa studi telah menemukan bahwa androgen merangsang respon Th1 pada manusia maupun pada pengerat. Dalam model jantung iskemia pada tikus, testosteron telah diperlihatkan menurunkan fungsi jantung setelah cedera akut dengan meningkatkan TNF-ά, IL-1β, IL-6, dan caspase-1. Namun, studi hewan lainnya telah menemukan bahwa androgen mengurangi penyakit autoimun. Salah satu kesulitan dalam mempelajari androgen adalah kenyataan bahwa testosteron mengaktifkan reseptor androgen dan reseptor estrogen dengan konversi aromatase testosteron menjadi estrogen. Dengan demikian, efek diukur dengan terapi testosteron dapat diakibatkan oleh kedua hormon seks. Dalam kedua jenis kelamin penurunan testosteron sesuai usia, yang dapat berperan dalam meningkatkan respon Th2 diamati pada pria di atas 50 tahun ( Gambar 1). Meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa androgen meningkatkan respons Th1, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membuktikan pengaruh mereka pada respon imun.
Perbedaan Sex pada Penyakit Autoimun
Beberapa faktor yang bisa menjelaskan perbedaan dalam peran hormon seks diamati antara studi manusia dan hewan model dari penyakit autoimun. Sebagian besar penelitian pada hewan tidak membedakan fase akut dengan fase kronis atau patologi akut versus kronis. Hal ini menyebabkan keraguan tentang peran respon Th1, Th2, dan Th17 dan pengaruh hormon pada patogenesis penyakit. Karena fase akut dan kronis dari penyakit ini diatur secara berbeda pada pria dan perempuan, membedakan kedua fase ini dalam hewan model dan pasien-pasien bisa mengarah pada pengobatan yang lebih efektif. Selain itu, ajuvan seperti CFA / toksin pertusis mendukung respon Th1/Th17 terlepas dari seks. Dengan demikian, banyak model penyakit autoimun seperti EAE dan CIA diperiksa efek estrogen pada sel yang menjadi mediator penyakit akut (Gambar 1). Namun, patologi kronis pada model penyakit autoimun kurang proporsional dipelajari dan sangat sedikit yang diketahui tentang pengaruh hormon seks pada patologi kronis. Yang penting, respon imun oleh TLR telah ditunjukkan untuk mengatasi toleransi alam, yang dapat menjelaskan respon imun tipe Th1 yang diamati pada wanita dalam berbagai model penyakit autoimun. Temuan bahwa terapi estrogen menurunkan respon Th1 baik pada jantan maupun betina pada hewan model yang diinduksi ajuvan lebih lanjut mendukung hipotesa. Selain itu, orang-orang yang terpapar berbagai infeksi/toksin semasa hidupnya, yang tidak memadai dijadikan model dalam penelitian pada hewan. Waktu terjadinya infeksi dan perubahan dalam status perubahan hormon pada pasien bisa mengubah outcome penyakit. Dan akhirnya, beberapa perbedaan yang mungkin timbul untuk mengubah regulasi respon imun secara genetik membentuk keberagaman strain tikus. Sebagai contoh, female non obese diabetic (NOD) tikus betina secara spontan mengembangkan respon Th1 selama perkembangan menjadi diabetes, tetapi relevansi model ini dengan penyakit manusia masih dipertanyakan.
SLE: Penyakit Akut yang diperantarai Antibodi
Hubungan yang jelas terdapat antara kadar estrogen yang tinggi dan meningkatnya jumlah sel B autoreaktif pada SLE (Gambar 1). Kehamilan meningkatkan penyakit pada pasien, dan terapi estrogen dosis tinggi pada model mencit dengan lupus mempercepat kerusakan ginjal yang diperatarai kompleks imun. Estrogen juga telah terbukti dapat meningkatkan daya tahan hidup sel B autoreaktif, autoantibodi, dan penyakit ginjal pada tikus BALB/c. Selain itu, pasien pria dengan SLE memiliki ratio estrogen-androgen yang lebih tinggi dan kadar testosteron yang lebih rendah dalam serum. Pada tikus C57BL/6 yang rentan lupus, tikus jantan memiliki kadar autoantibodi yang lebih rendah dari tikus betina. Dengan demikian SLE adalah penyakit di mana antibodi hampir secara eksklusif menjadi mediator kelainan/patologi, dan estrogen mempunyai peran yang hampir tak terbantahkan dalam meningkatkan kelainan yang diperantarai autoantibodi. Namun, studi pada pasien dengan SLE ditemukan elevasi rasio Th1 terhadap Th2 dan kadar IL-18 sampai IL-4 dalam plasma berhubungan positif dengan aktivitas penyakit, menunjukkan peran respons Th1. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa ketika jaringan mengikat kompleks imun mereka merangsang TLRs (yaitu, TLR9) melalui komponen autoantigen (yaitu DNA) dari generasi kompleks imun menghasilkan respon proinflamatori Th1. Selain itu, tidak semua studi klinis pasien SLE setuju pada peran profil Th1 atau Th2. Satu studi menemukan bahwa pasien-pasien SLE secara signifikan lebih sedikit sel-sel yang mensekresikan IFN-γ dan meningkatkan kadar estrogen dan progesterone serum. Dalam studi lain, ekspresi TIM-1 pada sel mononuklear darah tepi dari pasien SLE (terkait dengan respon Th2) berhubungan secara signifikan dengan aktivitas penyakit sedangkan ekspresi TIM-3 (terkait dengan respons Th1) tidak.
Rheumatoid Arthritis: Acute Mixed Cell & Antibody-Mediated Disease
Patologi RA merupakan campuran kerusakan cell-mediated dan antibody-mediated. Secara klinis, RA lebih sering terjadi pada wanita sebelum usia 50 tahun tapi keparahan penyakit lebih besar pada wanita setelah 50 tahun, dugaan suatu Th2, antibody-mediated pathology (Gambar 1). Namun, estrogen telah terbukti berefek melindungi melawan CIA pada tikus DBA/1LacJ dan tikus Lewis. Apa yang bisa menjelaskan perbedaan ini? Salah satu kemungkinan adalah bahwa inflamasi akut termasuk makrofag dan neutrofil yang diinduksi oleh CFA/kolagen dalam model CIA diinhibisi oleh estrogen, telah dibahas di bagian sebelumnya. Untuk mendukung ide ini, tikus jantan lebih rentan terhadap CIA daripada tikus betina. Dengan demikian, respon Th1/Th17 diinduksi oleh CFA pada model CIA mungkin bertanggung jawab atas perbedaan antara studi pada hewan dan manusia. Ketertarikan pada peran IL-17 pada CIA telah menyebabkan studi klinis baru-baru ini meneliti peran IL-17 dan IL-23 (suatu sitokin yang mendukung respon Th17) pada sendi pasien RA. Meskipun komponen p19 dari IL-23 telah terdeteksi pada pasien dengan RA, sebuah penelitian terakhir menemukan bahwa subunit P40 dari IL-23 tidak diekspresikan. Dalam studi lain, sel Th1 lebih banyak dari sel Th17 di dalam persendian. Untuk mendukung peran estrogen pada RA secara klinis, sebuah studi menemukan bahwa kadar estrogen bebas dalam cairan sinovial pria dengan RA telah meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol, mirip dengan kadar estrogen pada wanita dengan RA. Selain itu, incidence rates dari RA pada pria meningkat sesuai dengan umur dan sesuai dengan penurunan kadar androgen dan peningkatan respon Th2. Secara umum, temuan ini menunjukkan bahwa estrogen meningkatkan patologi RA. Meskipun wanita terlindung dari RA selama kehamilan, kehamilan biasanya terjadi ketika wanita <50 tahun. Dengan demikian, tingkat estrogen yang tinggi selama kehamilan dapat mengurangi acute cell-mediated pathology (yaitu, menginhibisi makrofag dan sel T) membantu meringankan gejala.
Diabetes: Acute Cell-Mediated Disease
Meskipun tikus NOD betina lebih mungkin mengalami diabetes dibanding tikus jantan, diabetes autoimun pada manusia terjadi sedikit lebih sering pada pria. Baru-baru ini, timbul pertanyaan apakah tikus NOD menggambarkan secara akurat gambaran patologis diabetes tipe I. Fenotipe penyakit pada manusia dan tikus berbeda. Pada tikus NOD betina infiltrasi limfosit sangat luas, sedangkan pada manusia dengan insulitis hanya sedikit leukosit yang terdeteksi di islet. Selain itu, infeksi seperti CVB3 mencegah penyakit pada tikus NOD tapi tetapi dianggap sebagai pemicu utama untuk diabetes, pankreatitis, dan penyakit autoimun lainnya pada manusia. Model hewan yang lebih tepat untuk diabetes diperlukan segera. Karena antibodi penetralisir dikenal kritis untuk mengurangi infeksi CVB3 pada wanita, pria dapat mengalami penyakit pankreas disebabkan virus yang lebih buruk.
Sklerosis sistemik: Penyakit Fibrosis Kronis
Sklerosis sistemik dianggap sebagai prototype penyakit fibrosis (Gambar 1). Meskipun merupakan penyakit yang relatif jarang, memiliki angka kematian kasus-spesifik tertinggi dari berbagai penyakit rematik autoimun karena komplikasi vaskular dan fibrosis organ, menyoroti bahwa sebagian besar kematian karena kondisi peradangan kronis disebabkan fibrosis. Karakteristik patologis penyakit manusia dan hewan model termasuk overekspresi dari sitokin TGF-β profibrotic, autoreactivitas terhadap protein matriks ekstraseluler, seperti kolagen, dan meningkatkan jumlah sel mast, eosinofil, dan basofil, menggambarkan hubungan dengan patologi kronis. Beberapa aspek klinis dan imunologi penyakit menyerupai dermatomyositis dan RA, penyakit yang makin parah di kemudian hari, memiliki peningkatan prevalensi pada wanita, dan berhubungan dengan respons Th2 (Gambar 1).
MS: Acute Mixed Cell and Antibody-Mediated Disease
MS biasanya dianggap sebagai penyakit dengan mediator Th1/Th17 karena hewan modelnya, EAE, memiliki fenotipe Th1/Th17. Kebanyakan pasien mengalami MS ketika mereka <50 tahun diduga suatu kelainan yang diperantarai sel (Gambar 1). Terapi estrogen menurunkan kadar Tregs pada tikus pada EAE dalam TNF-ά jika diberikan sebelum penyakit dimulai pada model murine, tetapi tidak ada efek signifikan begitu penyakit telah mulai muncul. Estrogen ditemukan meningkatkan jumlah Treg dalam EAE C57BL/6 pada tikus, yang berhubungan dengan kemampuan supresi. Kemungkinan bahwa EAE memiliki patologi akut dengan mediator Th1 dan patologi kronik dengan mediator Th2 didukung oleh observasi bahwa tikus SJL jantan hanya mengalami EAE akut sedangkan tikus SJL betina mengalami penyakit kronik. Bukti tambahan bahwa MS adalah penyakit dengan mediator Th1 berasal dari penelitian pada pasien yang secara klinis didefinisikan relapsing-remitting MS yang kambuh ketika pasien diobati dengan IFN-γ. Selanjutnya, pria mengalami inflamasi yang lebih parah daripada wanita dengan MS, sedangkan kehamilan pada manusia dan tikus mengurangi penyakit.
Jika MS adalah penyakit akut dengan mediator Th1, mengapa prevalensinya meningkat pada wanita (Gambar 1)? Salah satu alasan yang mungkin adalah adanya beberapa subgrup pasien dengan patogenesis yang berbeda. Meskipun beberapa pasien menampilkan penyakit lebih dari Th1 sebagai mediator (fulminate acute desease) yang melibatkan macrophage-mediated demyelination (mirip dengan EAE), suatu subset pasien mengalami antibody-mediated demyelination terkait dengan respon tipe Th2. Bahkan dalam subset dari pasien dengan patologi dengan mediator Th1, terdapat kelimpahan granulosit dan eosinofil menunjukkan suatu campuran respon Th1/Th2. Ini dapat menjelaskan gambaran awal (<50 tahun) dan peningkatan kejadian pada wanita.
Hashimoto’s Thyroiditis: Antibody-Mediated and Fibrotic Disease
Pada tiroiditis Hashimoto ada infiltrasi luas kelenjar gondok oleh limfosit, sel plasma (sel B yang memproduksi antibodi), dan makrofag sama banyaknya seperti pada formasi germinal center. Folikel-folikel tiroid secara progresif dihancurkan oleh deposisi kompleks imun dan serangan komplemen yang menimbulkan nekrosis, fibrosis, dan hipotiroidisme. Fase akut dan kronis dari Hashimoto terjadi secara dominan pada wanita, dan hewan betina juga mengalami tiroiditis autoimun eksperimental yang lebih berat. Peningkatan penyakit tiroiditis autoimun eksperimental tergantung pada hormon seks, dengan peningkatan estrogen dan testosteron mengurangi keparahan pada tikus. Meskipun penyakit pada tiroiditis autoimun eksperimental diperantarai oleh Th1, ini dapat disebabkan oleh efek penggunaan CFA sebagai ajuvan pada hewan model, seperti yang dibahas sebelumnya, karena hanya bukti sederhana tentang peran cedera yang diperantai sel yang telah ditunjukkan bagi pasien.
Myocarditis/Dilated Cardiomyopathy : Acute Cell-Mediated to Chronic Fibrotic Disease
Miokarditis dan aterosklerosis lebih sering terjadi pada pria. Wanita merespon infeksi atau trauma dengan lebih sedikit inflamasi pada jantung dibanding pria. Demikian pula, studi pada hewan secara konsisten menunjukkan bahwa wanita terlindung dari cedera miokardial akut selama iskemia, terbakar, dan sepsis. Pada Miokarditis yang diinduksi CVB3, mencit jantan mengalami inflamasi akut yang meningkat secara signifikan dibanding dengan wanita, namun tidak ada perbedaan replikasi virus pada jantung. Menarik untuk dicatat bahwa dua kasus wabah infeksi CVB3 pada manusia menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam tingkat infeksi, meskipun jelas terdapat peningkatan insiden dan mortalitas penyakit jantung pada pria, menunjukkan bahwa CVB3 meningkatkan penyakit jantung dengan bertindak sebagai ajuvan.
Dalam miokarditis autoimun eksperimental, respons Th17 telah terbukti diperlukan untuk perkembangan penyakit pada tikus. Lagi, penggunaan CFA sebagai ajuvan mungkin bertanggung jawab untuk profil ini. Dalam CVB3-induced myocarditis diamati sel-sel Th17 di dalam jantung saat miokarditis akut, tetapi kadar IL-17 umumnya tidak meningkat pada tikus jantan (Gambar 2) menunjukkan bahwa respon Th17 tidak diperhitungkan dalam perbedaan jenis kelamin pada inflamasi akut. Namun, IL-17 ditemukan menjadi penting dalam memperberat kronisitas, tahap fibrosis dari miokarditis autoimun eksperimental pada tikus dengan defisiensi IFN-γR, mirip dengan meningkatnya fibrosis yang diamati pada tikus dengan defisiensi IFN-γ dengan CVB3 -induced myocarditis. Dengan demikian, IL-17 dapat meningkatkan infiltrasi netrofil CD11b+ sewaktu miokarditis akut dan berperan dalam patologi kronis dengan meningkatkan fibrosis yang menghasilkan dilated cardiomyopathy. Dalam CVB3-induced myocarditis, TLR4 sinyaling meningkatkan sitokin proinflamasi peradangan dan inflamasi akut pada kedua jenis kelamin (Gambar 3). Demikian pula, infeksi CVB3 meningkatkan Tim-3 sinyaling dan jumlah CD4+Foxp3+ dan CD4+Tim-3+CTLA4+Tregs, yang menurunkan inflamasi Th1 pada kedua jenis kelamin. Namun, respons Th2 yang meningkat pada wanita mengurangi respon inflamasi akut dibandingkan dengan pria (Gambar 2). Aktivasi respons imun oleh TLR dan regulasi oleh Tim-3 dan Treg terjadi tidak hanya pada penyakit jantung, tetapi juga pada penyakit autoimun lainnya. Sebagai contoh, Tim-3 mengurangi inflamasi pada hewan model EAE dan diabetes, sedangkan sinyal yang diperantarai oleh TLR meningkatkan inflamasi. Ekspresi Tim-3 mungkin berhubungan dengan respon Th2 pada wanita karena lokasinya pada kompleks gen IL-4 (estrogen meningkatkan IL-4 pada wanita) (Gambar 3). Testosteron diketahui meningkatkan jumlah sel mast dan makrofag dan mungkin juga meningkatkan kadar TLR4 pada antigen-presenting cells (Gambar 3). Sinyaling reseptor estrogen tidak hanya menurunkan respon Th1, tetapi juga menurunkan jumlah sel mast dan makrofag (Gambar 3). Dengan demikian, hormon seks mengubah ekspresi dari jalur sinyaling pro- dan anti-inflamatori yang menentukan beratnya inflamasi akut. Namun, pengaruh hormon seks pada patologi kronis secara primer belum diketahui. Miokarditis berkembang dari respons Th1 akut menjadi fibrosis kronik yang diperantarai Th2 dan dilated cardiomyopathy (Gambar 1). Dengan demikian, peningkatan prevalensi penyakit autoimun pada wanita mungkin diakibatkan oleh meningkatnya respon Th2 setelah infeksi yang mengawali produksi autoantibodi, inflamasi kronis, dan fibrosis, mungkin menjelaskan mengapa wanita yang diberi estrogen replacement therapy setelah menopause mengalami penyakit jantung yang lebih buruk.
Kesimpulan
Memahami mekanisme di balik meningkatnya insiden penyakit autoimun pada wanita masih tetap sulit untuk dipahami. Penemuan terbaru ini yang membicarakan persilangan antara TLR4 dan sinyaling Tim-3 mempengaruhi keparahan inflamasi antara kedua jenis kelamin dalam penyakit jantung telah mendorong penulis untuk memeriksa penyakit autoimun lain tentang patologi yang diperantarai Th1 versus Th2. Berdasarkan pemahaman penulis tentang patogenesis penyakit, penulis meneliti penyakit autoimun sesuai dengan umur dan jenis kelamin dan menemukan bahwa kejadian penyakit autoimmune jatuh ke dalam suatu pola pria/wanita berdasarkan patologi. Penyakit autoimun yang dominan pada pria biasanya bermanifestasi klinis klinis (yaitu, menunjukkan tanda-tanda dan gejala penyakit klinis) sebelum usia 50 tahun dan ditandai oleh inflamasi akut dan respon tipe Th1, sedangkan penyakit autoimun yang kejadiannya meningkat pada wanita yang terjadi sejak dini mempunyai patologi yang diperantarai antibodi yang jelas. Penyakit autoimun dengan peningkatan insidensi pada wanita timbul secara klinis di kemudian hari ketika terdapat patologi kronis, fibrosis, dan peningkatan jumlah autoantibodi. Perbedaan antara patologi akut dan kronis dalam penyakit autoimun, yang pada awalnya diabaikan pada kedua hewan model dan lingkungan klinis, sangat mempengaruhi pemahaman kita tentang patogenesis penyakit dan menyediakan kerangka kerja untuk memahami perbedaan dalam prevalensi penyakit autoimun antara pria dan wanita. Karena fase akut dan kronis penyakit diatur secara berbeda pada pria dan wanita, membedakan dua tahap patologi pada hewan model dan pada pasien dapat mengarahkan pada terapi yang lebih efektif.
thanks atas infonya, ditunggu artikel yang lainnya
BalasHapushttp://obatherbal07.com/obat-herbal-amiloidosis/
Nice Web mas gemilang.
BalasHapusNice Web mas gemilang.
BalasHapusterimaksih informasinya saya jadi tau tentangPenyakit autoimun dari blog ini
BalasHapus