IMUNOHISTOKIMIA
Pemeriksaan imunohistokimia dapat
memberi informasi mengenai kandungan berbagai unsur molekul didalam sel normal
maupun sel neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen
(yang terkandung dalam sel) dengan antibodi spesifiknya yang diberi label chromogen.
Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik yaitu prosedur pembuatan irisan
jaringan (histologi) untuk diamati di bawah mikroskop. Irisan jaringan yang
didapat kemudian memasuki prosedur imunohistokimia. (1,2)
Interaksi antara antigen dan antibodi
adalah reaksi yang tidak kasat mata. Oleh karena itu, diperlukan visualisasi
adanya ikatan tersebut dengan molekul antibodi yang digunakan dengan enzim atau
fluorokrom. Enzim (yang dipakai untuk molekul) selanjutnya direaksikan dengan
substrat chromogen (yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir berwarna dan
tidak larut) yang dapat diamati dengan mikroskop bright fiekl (mikroskop bidang
terang). Imunohistokimia yang menggunakan fluorokrom untuk molekul antibodi,
dapat langsung diamati dibawah mikroskop fluorescence. (2)
Berbagai jenis molekul yang yang
terkandung dalam sel dapat dideteksi dengan teknik ini, termasuk berbagai jenis
reseptor, onkoprotein, faktor pertumbuhan dan protein-protein lainnya. Dengan
ditemukannya teknik ini maka berbagai pemahaman-pemahaman baru di bidang
penyakit, termasuk onkologi, menjadi semakin baik sehingga telah membawa dunia
kedokteran kepada era yang baru. (1)
Imunohistokimia menjadi teknik pilihan
untuk menentukan petanda-petanda biologik tersebut karena relatif mudah, murah
dan dapat diterapkan pada sediaan rutin histopatologik. Namun demikian perlu
diperhatikan sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan, dimana
pengaruh faktor-faktor tersebut dimulai dari tahap pembedahan, pengolahan
jaringan hingga penilaian hasil pulasan. (1,2)
Untuk dapat menagani penderita secara
lebih sempurna, seyogyanya pemeriksaan ini dijadikan pemeriksaan rutin bagi
setiap penderita kanker. (1)
Antigen dan Antibodi
Antibodi dibentuk oleh sistem imun dari spesies asing akibat
masuknya bahan kimia spesifik kedalam spesies ini. Sistem imun mempunyai
kemampuan alami yang dibawa lahir untuk mengenali tiap ikatan asam amino,
karbohidrat, atau lemak serta bereaksi terhadap bahan-bahan tersebut.
Pengenalan ini tergantung dari besarnya molekul. (3)
Diperlukan molekul yang besarnya
beberapa Dalton
agar reseptor mengenal dan sistem imun bereaksi. Molekul ini disebut antigen.
Banyak protein yang cukup besar untuk merangsang terjadinya respons
imun, yang dengan demikian bersifat antigenik. Namun banyak juga
molekul-molekul lain, atau protein-protein kecil yang tidak bersifat antigenik
dan harus terlebih dahulu berikatan dengan molekul yang lebih besar agar dapat
dikenal oleh sistem imun. Bahan kimia atau protein dengan molekul kecil ini
disebut hapten. (3,4)
Bila molekul asing (foreign) masuk
kedalam tubuh, maka ia akan dikenali sebagai bahan yang terikat dengan reseptor
Human
Leukocyte Antigen (HLA) tertentu pada makrofag. Makrofag mencerna
molekul asing tersebut dan menampilkan ikatan tertentu dari kelompok luar atom
yang disebut epitop pada permukaan dari makrofag. Epitop tersebut kemudian
kontak dengan limfosit T helper, yang menolong menampilkan epitop tersebut pada
limfosit sel B. Sel B akan mensintesa rantai protein immunoglobulin yang mampu
mengikat epitop secara spesifik. (3,4)
Tiap bahan antigenik mempunyai banyak
tempat (site) epitop, juga disebut determinan, yang mampu berikatan
dengan antibodi. Secara in vivo, respons terhadap antigen dapat bersifat luas
dan antibodi yang bereaksi dengan determinan-determinan pada antigen ini
disebut antibodi poliklonal. (3)
Metode Pewarnaan Imunohistokimia
Prinsip dari metode imunohistokimia
adalah perpaduan antara reaksi imunologi dan kimiawi, dimana reaksi imunologi
ditandai adanya reaksi antara antigen dengan antibodi, dan reaksi kimiawi
ditandai adanya reaksi antara enzim dengan substrat. (5)
Pemeriksaan imunohistokimia
dimaksudkan untuk mengenali bahan spesifik tertentu didalam jaringan dengan
menggunakan antibodi dan sistem deteksi yang memungkinkan untuk mengenali bahan
spesifik tersebut secara visual. (5)
Dengan diketahuinya bahan spesifik
tersebut maka dokter dapat menentukan dengan lebih tepat histogenesis dari lesi
tertentu dan prognostiknya.
Antibodi bereaksi terhadap determinan
dari antigen yang berada dalam bahan spesifik yang diperiksa. Antibodi-antibodi
ini akan berikatan dengan bahan dalam jaringan, dan antibodi-antibodi ini diketahui
dengan menggunakan antibodi-antibodi lain yang dirancang untuk mengenal
immunoglobulin tersebut dari spesies-spesies yang terekspos dengan bahan asli
(original). (5)
Antibodi-antbodi
penentu (anti-antibodi dari spesies lain) ini ditempeli (tagged) dengan
beberapa molekul pelapor (reporter molecule) misalnya fluorecein atau
enzim yang dapat mengkatalisa reaksi selanjutnya menuju produk yang dapat
dilihat.
Sistem
deteksi Avidin-biotin complex (ABC) menggunakan spesimen jaringan tertanam
dalam paraffin, dengan ketebalan 5 mikron.
Antibodi
spesifik terhadap bahan spesifik yang diperiksa dikombinasi dengan antigen .
Antibodi ini ditentukan dengan anti-antibodi yang dihasilkan oleh spesies lain
yang mengenal antibodi pertama sebagai antigen. Anti-antibodi (antibodi
sekunder) ini mempunyai molekul biotin yang lekat padanya, memungkinkan deteksi
lanjut dengan protein avidin.
Biotin
adalah vitamin yang relatif kecil. Ikatannya dengan rantai immunoglobulin tidak
berpengaruh dengan kemampuannya untuk mengenal antibodi primer.
Avidin
adalah protein yang afinitasnya sangat kuat terhadap molekul biotin. Kombinasi
kedua zat ini irreversible.
Tiap molekul avidin mempunyai 4 tempat (site)
kombinasi dengan biotin. Dan tiap molekul biotin mempunyai dua tempat kombinasi
dengan avidin.
Molekul
Horse Radish Peroxidase (HRP) adalah molekul reporter. Enzim ini diikat oleh biotin dan berpadu
didalam complex avidin-biotin sedemikian rupa sehingga bila HRP ini berdekatan
dengan anti-antibodi terbiotinil sekunder (secondary biotinylated
anti-antibody), complex tersebut berikatan dengan tempat ikatan biotin pada
satu dari molekul avidin. Hal ini membuat enzim pada tempat asli dari interaksi
antibodi primer-antigen.
Kemudian
enzim tersebut bereaksi dengan hydrogen peroxidase. Hal ini menimbulkan
transfer elektron-elektron dari senyawa chromogen yang mengendap (precipitates)
sebagai pigmen yang tidak larut (insoluble).
Chromogen
yang digunakan adalah 3,3’-diaminobenzidine tetrahydrochloride (DAB). Molekul
ini didalam larutan dalam konsentrasi terlarut, tidak berwarna dan mengendap
berupa massa
coklat gelap bila teroksidasi. Endapan ini tidak larut dalam alcohol. Hal ini
memungkinkan seksion diconterstained dengan hematoxylin, didehidrasi dengan
ethanol, dan dicleared dengan xylene dan ditutup dengan coverslip. (5)
Untuk menjaga spesifisitas reaksi ini
hendaknya harus menggunakan antibodi monoklonal yang memiliki idiotipe dan isotipe
yang sama. Salah satu teknologi yang digunakan untuk memproduksi antibodi monoklonal
adalah teknologi hibridoma. (2,3,5)
Antibodi monoklonal inilah kemudian
diproduksi secara masal dan dapat digunakan untuk mendeteksi suatu marker yang
diekspresikan oleh sel pada permukaannya maupun yang dilepaskan oleh sel ke
cairan tubuh. Untuk menentukan marker yang di ekspresikan ke permukaan sel.
Maka metode pengukurannya menggunakan metode imunohistokimia (imunositokimia),
sedangkan yang dilepaskan pada cairan tubuh dapat menggunakan metode
imunosuspensi seperti : ELISA (Enzyme-linked
Immunosorbent Assay), RIA (Radioimmunoassay)
dan sebagainya.(3,5,8,9)
Bila hewan coba atau individu di
imunisasi dengan suatu antigen secara berulang, maka di dalam tubuh hewan coba
atau individu tersebut akan terjadi suatu respons imun yang dapat menghasilkan
antibodi. Antigen yang di imunisasikan kedalam tubuh hewan coba atau individu
tersebut, pertama kali akan dijamu oleh suatu sel yang disebut sebagai APC
(Antigen Presenting Cell). Selanjutnya didalam
tubuh, APC antigen tersebut diproses dan diekspresikan bersama MHC Kelas II
(Mayor Histocompatibility Complex II). Terekspresinya MHC Kelas II pada
permukaan sel tersebut, kemudian dikenal oleh limfosit yaitu limfosit – Th (T
helper). Adanya pengenalan dari MHC tersebut kemudian APC mensekresikan suatu
mediator yang disebut sebagai interleukin (IL) antara lain IL-1 dan Il-12. Kedua IL
ini akan mempengaruhi limfosit Th mengalami diferensiasi menjadi Th-1 dan Th-2.
IL-1 yang dihasilkan oleh APC akan memicu aktifitas Th-1, sehingga Th-1 aktif
ini akan menghasilkan beberapa mediator antara lain IL-2, IFNγ dan TNFβ. IFNγ
dan TNFβ akan memicu peningkatan
aktifitas APC. Sedangkan IL-2 dan IFNγ akan mengaktifasi limfosit (Th-2). Th-2
aktif akan menghasilkan beberapa mediator seperti IL-4, IL-5, IL_6. Ketiga
mediator ini akan mempengaruhi limfosit B mengalami diferensiasi menjadi sel
memori dan sel plasma yang menghasilkan antibodi. Adapun proses pembentukan sel
plasma didalam kelenjar limfoid sekunder seperti pada limpa atau kelenjar getah
bening dapat melalui beberapa tahap yaitu mulai dari sentroblas berkembang
menjadi sentrosit, kemudian menjadi plasmablas dan berakhir menjadi plasmasit
(sel plasma) yang menghasilkan antibodi. Oleh karena ada beberapa limfosit B
didalam tubuh hewan coba atau individu yang tersensitisasi antigen, maka
masing-masing limfosit B tersebut akan membentuk klon-klon tersendiri yang memungkinkan
akan membentuk antibodi yang memiliki isotope dan idiotipe yang berbeda.
Campuran antibodi inilah yang dikenal dengan antibodi poliklonal. Untuk
memproduksi antibodi monoklonal secara masal dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi hibridoma. (3,5,6)
Pewarnaan imunohistokimia
pada dasarnya ada dua macam metode yaitu : (5,8,9)
- Metode direct
- Metode indirect
- Metode Direct
Pada metode ini antibody monoclonal yang
digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, langsung di label dengan
suatu enzim. Adapun cara pewarnaannya adalah sebagai berikut :
Persiapan reagen
:
H2O2
3% (digunakan untuk menghilangkan aktifitas endogenous peroksidase).
Trypsin 0,025% dalam PBS (digunakan untuk membersihkan debris
protein yang kemungkinan menutup
epitope dari bahan yang akan dideteksi).
Larutan kerja DAB (digunakan sebagai indicator warna pada
reaksi enzimatik).
R/ Aquadestilata 1 ml
Buffer substrat H2O2 50 tetes
Larutan DAB stok 1 tetes
Cara kerja :
Lakukan deparafinisasi, caranya adalah dengan memasukkan
sayatan jaringan berturut-turut kedalam :
1.
xylol : 2 menit
2.
xylol : 2 menit
3.
etanol absolute : 1 Menit
4.
etanol absolute : 1 menit
5.
etanol 95% : 1 menit
6.
etanol 95% : 1 menit
7.
etanol 80% : 1 menit
8.
etanol 70% : 1 menit
9.
air mengalir : 10-15 menit
10. Masukkan
kedalam larutan H2O2 30% : 30 menit
11. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit)
12. Trypsin
0,025% selama 6 menit pada 370C
13. Cuci
dengan PBS (a : 2 menit)
14. Masukkan
kedalam antibodi monoklonal dilabel enzim (misalnya untuk mendeteksi IgG pada
mencit, maka monoklonal antibodi yang dilabel dengan enzim adalah IgG anti
mencit) : 30 menit
15. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit)
16. Masukkan
kedalam substrat kromogen : 5 menit
17. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit)
18. Cuci
dengan aquadestilata
19. Masukkan
ke dalam Mayer’s Haematoksilin : 6 menit
20. Cuci
dengan air mengalir, sampai bersih
21. Dehidrasi
– Clearing – Mounting
The direct
method of immunohistochemical staining uses one labelled antibody, which binds
directly to the antigen being stained for. (8)
b. Metode Indirect
Pada metode
imunohistokimia indirect, antibodi monoklonal yang digunakan untuk mendeteksi
suatu marker pada sel, tidak dilabel dengan suatu enzim. Antibodi ini dikenal
dengan sebutan antibodi primer. Namun pada metode ini bukan berarti tidak
membutuhkan antibody yang dilabel enzim. Hal ini tetap dibutuhkan tetapi yang
dilabel adalah antiimunoglobulin, dalam imunohistokimia indirect dikenal dengan
sebutan antibodi sekunder. Untuk melabel antibodi sekunder dapat dilakukan
secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung artinya antibodi
sekunder telah terlabel oleh suatu enzim. Sedangkan secara tidak langsung
artinya pelabelan antibody sekunder dengan suatu enzim adalah menggunakan suatu
bahan perantara (kombinasi) seperti : biotin-streptavidin atau biotin-avidin.
Adapun caranya adalah sebagai berikut :
Persiapan reagen :
H2O2 3%
Trypsin 0,025% dalam PBS
Larutan kerja DAB
R/ Aquadestilata 1 ml
Buffer substrat H2O2 50 tetes
Larutan DAB stok 1 tetes
Cara kerja :
Lakukan deparafinisasi, caranya adalah dengan memasukkan
sayatan jaringan berturut-turut kedalam :
1.
xylol : 2 menit
2.
xylol : 2 menit
3.
etanol absolute : 1 menit
4.
etanol absolute : 1 menit
5.
etanol 95% : 1 menit
6.
etanol 95% : 1 menit
7.
etanol 80% : 1 menit
8.
etanol 70% : 1 menit
9.
air mengalir : 10-15 menit
10. Masukkan
kedalam larutan H2O2 3% : 30 menit
11. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit)
12. Trypsin
0,025% selama 6 menit pada 370C
13. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit)
14. Masukkan
kedalam monoclonal antibodi / antibodi primer. Apabila ingin
mendeteksi IgG pada mencit, maka antibodi primer yang digunakan
adalah IgG
anti mencit (misalnya rat anti mous = 1:5) : 30 menit
15. Cuci
dengan PBS 3 kali (a: 2 menit)
16. Masukkan kedalam sekunder antibodi (oleh karena primer antibodi
yang
digunakan pada tulisan ini menggunakan rat anti mous, maka sekunder
antibodi yang digunakan dapat berupa rabbit anti rat peroksidase label) :
30 menit.
17. Cuci
dengan PBS 3 kali (a: 2 menit)
18. Masukkan
kedalam substrat kromogen : 5 menit
19. Cuci
dengan PBS 3 kali ( a : 2
menit ), kemudian dibilas dengan
aquadestilata
20. Masukkan
kedalam Mayer’s Hematoxylin : 6 menit
21. Cuci
dengan air mengalir
22. Dehidrasi
– Clearing - Mounting
The indirect method of immunohistochemical staining uses
one antibody against the antigen being probed for, and a second, labelled,
antibody against the first. (8)
Metode Combine
Indirect
Persiapan reagen :
H2O2
3 %
Trypsin
0,02% dalam PBS
Larutan
kerja DAB
R/ Aquadestilata 1
ml
Buffer substrat H2O2 50 tetes
Larutan DAB stok
Cara
kerja :
Lakukan
deparafinisasi, caranya adalah dengan memasukkan sayatan jaringan
berturut-turut kedalam :
1.
xylol : 2 menit
2.
xylol : 2 menit
3.
etanol absolute : 1 menit
4.
etanol absolute : 1 menit
5.
etanol 95% : 1 menit
6.
etanol 95% : 1 menit
7.
etanol 80% : 1 menit
8.
etanol 70% : 1 menit
9.
air mengalir : 10-15 menit
10. Masukkan
kedalam larutan H2O2 3% : 30 menit
11. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit)
12. Trypsin
0,025% selama 6 menit pada 370C
13. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit)
14. Masukkan
ke dalam monklonal antibodi/antibodi primer. Apabila ingin mendeteksi IgG pada
mencit, maka antibodi primer yang digunakan adalah IgG anti mencit (misalnya
rat anti mous = 1:50) : 30
menit
15. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit)
16. Masukkan
kedalam sekunder antibodi (oleh karena contoh tulisan ini menggunakan primer
antibodi berupa rat anti mous, maka antibodi sekunder yang digunakan dapat
berupa rabbit anti rat biotinilated label) : 30 menit
17. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit)
18. Masukkan
kedalam streptavidin/avidin HRP label : 30 menit
19. Cuci
dengan PBS 3 kali (a: 2 menit)
20. Masukkan
kedalam substrat kromogen : 5 menit
21. Cuci
dengan PBS 3 kali (a : 2 menit), kemudian bilas dengan aquadestilata
22. Masukkan
kedalam Mayer’sHematoxylin : 6 menit
23. Cuci
dengan air mengalir
24. Dehidrasi
– Clearing – Mounting
Masalah-Masalah Dalam Teknik
Imunohistokimia (1)
Faktor-faktor pra analisis
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
yang relative mudah dan murah. Keuntungan lain dari teknik ini adalah dapat
diterapkan pada sediaan rutin yang diterima pada laboratorium histopatologi dan
dapat dilakukan secara retrospektif pada sediaan-sediaan arsip.
Namun demikian, untuk mendapatkan
hasil yang dapat dipercaya hasilnya, sejumlah persyaratan harus dipenuhi.
Fiksasi sangat penting peranannya, karena teknik ini bertumpu pada reaktifitas
antigen dalam sel. Fiksasi yang suboptimal dapat menurunkan bahkan meniadakan
reaktifitas antigen, sehingga memberikan sinyal yang lemah atau negative palsu.
Secara umum, proses fiksasi jaringan harus dilakukan sesegera mungkin tanpa
penundaan dan dilakukan dengan sempurna. Fiksasi yang dianjurkan adalah da;am
formalin berdapar fosfat 10%. Waktu fiksasi bervariasi antara 6 hingga 24 jam
dan dalam keadaan terendam scara merata. Jika jaringan tumor berukuran besar,
maka harus dilakukan sayatan-sayatan parallel menyerupai “toast rack” berjarak
1 cm untuk menjamin paparan cairan formalin yang merata, dan jumlah cairan
fiksatif minimal 5-10 kali volume jaringan.
Selanjutnya, pengolahan jaringan harus
dilakukan secara sempurna tahap demi tahap melalui alcohol yang bertingkat
kadarnya dan impregnasi dalam paraffin dengan titik leleh maksimum 600C.
Pengolahan jaringan yang tidak sempurna dapat menghambat proses pulasan karena
jaringan yang tidak homogen dalam paraffin mudah terlepas dari kaca benda.
Mudahnya jaringan terlepas dari kaca benda disebabkan karena pada proses
pulasan, dilakukan prosedur “antigen retrieval” yaitu pemaparan terhadap
gelombang elektromagnetik atau pemanasan; serta pemaparan dengan
larutan-larutan yang keras sifatnya, dimana tahapan-tahapan ini tidak dilakukan
pada prosedur pulasan hematoksilin eosin yang rutin.
“Quality control” dan “Quality assurance”
Berbagai faktor menyebabkan perbedaan
hasil pemeriksaan, antara lain jenis antibody, metode “antigen retrieval”,
factor-faktor preanalitik dan interpretasi hasil. Untuk menekan perbedaan ini
dianjurkan melakukan “quality control” dan “quality assurance”.
Nilai cut off
Walupun sedikit, variasi dalam
penggunaan nilai cut off masih dilaporkan. Namun demikian, pada berbagai
penelitian, untuk berbagai petanda lazimnya digunakan nilai cut off 10%.
Tempat pemeriksaan
Teknik ini relative mudah dalam arti
prosedurnya sederhana, namun diperlukan kecermatan yang tinggi dalam
pelaksanaannya pada setiap tahap. Di
United State Kingdom, dianggap bahwa laboratorium yang ideal adalah yang
melakukan tes minimal 250 kasus dalam 1 tahun. Laboratorium lokal yang ingin
melakukan tes ini sangat dianjurkan untuk melakukan “quality assurance”.
DAFTAR PUSTAKA
- Hardjolukito, Endang SR. The 8th Course and Workshop, Basic Science In Oncology, Modul A, Putaran Ke-3. Jakarta, 19 - 21 Mei 2005.
- Immnunohistochemistry. Available at : http://www.google.com/Immunohistochemistry/lecture 15b.pdf
- Ulrika V. Mikel, editor,Gary L. Bratthauer and Lila R.Adams. Advanced Laboratory Methods in Histology and Pathology. Armed Forces Institute of Pathology, American Registry of Pathology, Washington DC, 1994, p.3-40.
- Abbas, Abul K et al. Cellular and Molecular Immunology, Second Edition, W.B Saunders Company, 1994, p 47 – 49.
- Sudiana, I Ketut. Teknologi Ilmu Jaringan dan Imunohistokimia. Jakarta, Sagung Seto, 2005, hal. 36 – 47.
- Rosai J Editor. Rosai and Ackermans. Surgical Pathology, Ninth Edition. Volume 1. Philadelphia, Mosby, 2004, p. 34 – 45.
- Monoclonal Antibody. Available at : http://encarta.msn.com/media/images.
- Immunohistochemistry. Available at : http://en.wikipedia.org/wiki/immunohistochemistry.htm.
- Introduction Immunohistochemistry. Available at : http://www.ihcworld.com/introduction.htm.
- Methods and Technique for Histologist and Immunohistochemists. Available at : http://www.ihcworld.com/protocol database.htm.
Terimakasih kakk atas ilmunya yang telah dibagikan, semoga makin berkah..
BalasHapusKami Punya Komunitas pemainayam.org Yang Cukup Ramai..
BalasHapusKirim Kontak kak, Untuk Pembelian..