AMILOIDOSIS
PENDAHULUAN
Amiloidosis
merupakan penyakit kelainan struktur skunder protein, dimana dalam keadaan
normal protein tersebut dapat larut tetapi berubah menjadi tidak larut dan
tertumpuk di dalam jaringan ektrasesuler.
Hampir semua jenis amiloidosis mengandung
fibril protein yang disebut Amiloid.(1,2)
Pada
mulanya substansi ini dianggap menyerupai amilum sehingga diberi nama
“amiloid”, namun saat ini telah diketahui bahwa substansi ini terutama tersusun
atas protein (3). Terdapat dua puluh jenis protein fibril yang sudah
dikenali dalam amiloidisis, yang masing-masing akan menunjukkan gambaran klinis
yang berbeda.(2)
PENGERTIAN
Amiloidosis
adalah istilah umum yang digunakan untuk berbagai jenis protein yang secara
abnormal mengalami pengendapan di dalam jaringan interstisium (ekstrasesuler)
yang mengakibatkan berbagai macam gejala klinis. (1,2,3,4,5,6,,8,10,11,12)
Oleh
karena pengendapan amiloid muncul secara tersembunyi, pengenalan klinis pada
akhirnya tergantung pada identifikasi morfologis dengan menggunakan mikroskop
cahaya, dimana akan dijumpai substansi amiloid dalam spesimen biopsi jaringan.(3)
Sifat Fisik Amiloid
Dengan
menggunakan mikroskop elektron, amiloid terutama tersusun atas fibril tidak
bercabang dengan lebar 7,5-10 nm.(3,4,5)
Pemeriksaan kristalografi sinar X dan
spektroskopi infra merah, amiloid menunjukkan suatu for-masi lembaran
berlipat-lipat-β yang bersilangan sehingga prote-in ini sangat tahan
terhadap de-gradasi enzimatik sehingga mu-dah tertimbun di dalam jaring-an.(3,4)
Selain fibril protein terse-but,
suatu glikoprotein pentagon-nal nonfibril (komponen P) dan
proteoglikan merupakan kompo-nen pelengkap dari semua endap-an amiloid.(3)
Kira-kira 95% setiap peng-endapan amiloid
terdiri atas pro-tein fibril, sedangkan 5% sisanya merupakan komponen P dan
gli-koprotein lainnya.(3)
|
Sifat Kimiawi Amiloid
Segala
jenis amiloid mempunyai karakteristik yaitu apabila diberikan iodium ke
jaringan yang mengandung amiloid, akan terbentuk warna coklat.(4)
Diantara
dua puluh bentuk protein amiloid yang berbeda secara biokimia yang telah
diidentifikasi, ada tiga bentuk yang paling umum, yaitu:(3)
1.
AL
(amiloid rantai ringan)
yang berasal dari sel plasma dan mengandung rantai ringan immunoglobulin.
2.
AA
(amyloid-associated), merupakan suatu protein non-imunoglobulin
yang disintesis di dalam hati.
3.
Amiloid
Aβ,
ditemukan dalam lesi serebral pada penyakit Alzheimer.
Kedua
protein amiloid non-serebral tersebut terendapkan dalam keadaan klinopatologis
yang berbeda:
§ Protein AL
tersusun atas rantai ringan immunoglobulin yang lengkap, fragmen NH2 –terminal
rantai ringan, atau keduanya sekaligus. Protein fibril amiloid tipe AL
dihasilkan oleh sel yang menyekresi immunoglobulin dan pengendapannya disertai
dengan beberapa bentuk proliferasi sel-B monklonal.(3)
§ Fibril amiloid AA
tersusun atas suatu protein dengan massa molekul 8,5 kD yang tidak mempunyai
kesamaan dengan immunoglobulin. Protein AA secara khusus terendap pada keadaan
inflamasi kronis, protein ini berasal dari prekursor serum yang lebih besar (12
kD) yang disintesis di dalam hati dan disebut protein SAA (Serum Amyloid-Associated).(3)
Keadaan inflamasi kronis,
baik lokal maupun infeksi bakteri sistemik, kadang-kadang juga pada neoplasma, yang
berhubungan dengan amiloid AA adalah:(7)
-
Rheumatoid arthritis - Crohn disease
-
Juvenil Chronic arthritis - Lepra
-
Ankylosing spondylitis - Tuberkulosis
-
Psoriasis - Hodgkin disease
-
Bronchiectasis kronik - Renal cell
carcinoma, dll.
Beberapa
protein lain yang berbeda secara biokimia telah ditemukan dalam endapan amiloid
pada berbagai macam situasi klinis, yaitu:
§ Transtiterin (TTR)
adalah protein serum normal yang mengikat dan menstrasfer tiroksin dan retinol.
Suatu bentuk mutan transtiterin
dan fragmennya terendapkan dalam sekelompok gangguan genetik yang disebut
dengan polineuropati amiloid famial.
Transtiterin juga diendapkan dalam
jantung pada individu berusia lanjut yang disebut dengan amiloidosis sistemik senilis, tetapi dalam kasus semacam ini
struktur molekul transtiterin adalah normal.(3)
§
β2-mikroglobulin,
komponen
molekul MHC kelas I dan protein serum normal, telah diidentifikasi sebagai
subunit fibril amioid (Aβ2m) pada amiloidosis yang menjadi penyulit
perjalanan penyakit pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang. Serabut
Aβ2m secara struktural serupa dengan protein β2m normal.
Protein ini terdapat dalam kadar yang
tinggi di dalam serum penderita penyakit ginjal dan bertahan di dalam sirkulasi.
Dalam beberapa penelitian, sebanyak 69% dialisis jangka panjang mengalami
pengendapan amiloid dalam sinovium, sendi dan selubung tendon.(3)
§ Protein
β-amiloid (Aβ)
, merupakan suatu peptida 4-kD yang mem-bentuk inti plak serebral yang
ditemukan pada penyakit Alzheimer serta merupakan amiloid yang terendapkan
dalam dinding pembuluh darah serebral pada penderita Alzheimer. Protein A β
berasal dari glikoprotein transmembran yang jauh lebih besar, yang disebut dengan protein precursor amiloid
(APP).(3)
§
Telah pula dilaporkan adanya
endapan amiloid yang berasal dari prekursor berbeda seperti hormon
(prokalsitonin) dan keratin.(3)
KLASIFIKASI
AMILOIDOIS
Banyak klasifikasi yang digunakan,
berdasarkan pada reaksi pulasan, distribusi organ, keterkaitan dengan serat
jaringan ikat dan hubungannya dengan keadaan primer. Tetapi yang banyak
digunakan adalah berdasarkan jenis protein dan distribusi pada jaringan, yaitu
sebagai berikut:(4,6,12)
1.
Amiloidosis
Primer
Amiloidosis
Primer yaitu keadaan dimana terjadi disposisi amiloid tanpa adanya suatu faktor
terkait,. Terdapat dua subkelompok:
·
Amiloidosis Lokalisata
Dikatakan amiloidosis
lokalisata apabila endapan amiloid terbatas pada satu organ saja.(4) Amiloidosis
lokal dapat berupa nodul, massa seperti tumor yang dapat timbul di lidah
(jarang), laring, kandung kemih, paru-paru dan
kulit (jaringan subkutan).(6)
Tumor amiloid ini sering
menyerupai neoplasma sel plasma lokal. Pada penyakit Alzheimer, terjadi
penimbunan suatu bentuk khusus amiloid
di jaringan ekstraseluler otak berupa plak.(6)
·
Amiloidosis
Generalisata
Pada amiloidosis generalisata
dengan distribusi primer, amiloid dapat dijumpai pada jantung, saluran cerna,
lidah, kulit dan saraf. Distribusi ini tampak pada amiloidosis primer maupun
pada neoplasma limfosit B (myeloma sel
plasma dan limfoma sel B). Suatu immunoglobulin monoklonal yang terbentuk oleh
proses keganasan sel plasma yang dapat dideteksi di dalam serum pada lebih dari
90% pasien amiloidosis primer. Pada kasus ini amiloidnya berjenis AL.
Pada remathoid arthritis, amiloid non-imunoglobulin
(amiloid AA)
tertimbun dengan pola primer seperti ini.(4,6)
2.
Amiloidosis
Sekunder
Amiloidosis sekunder merupakan amiloidisis
yang terjadi akibat komplikasi dari proses inflamasi kronik atau akibat penyakit
yang merusak jaringan.(12)
Sebelumnya amiloidosis sekunder terutama
terjadi dalam hubungannya dengan penyakit sifilis, tuberkulosis paru,
osteomielitis dan bronkhiektasis. Sekarang hal ini lebih sering dikaitkan dengan remathoid
arthritis dan infeksi traktus urinarius kronik.(6)
3. Amiloidosis pada Neoplasma
Amiloid
terdapat pada stroma pada kebanyakan neoplasma endokrin, seperti pada karsinoma
medulla tiroid.
Protein amiloidnya adalah AE, biasanya
berasal dari molekul
prekursor
hormon peptide tertentu, misalnya
kalsitonin. (4,6)
4. Amiloidosis Heredofamilial
Amiloidosis
familial dilaporkan hanya terjadi pada beberapa keluarga. Tipe amiloidnya
adalah AF atau AA. Amiloidosis familial diklasifikasikan sebagai neuropatik,
nefrofatik atau kardiak, bergantung pada lokasi yang paling banyak terlibat.
Sejumlah sindroma heredofamilial juga
pernah dilaporkan, misalnya polineuropati di Portugal, nefropati dan Demam Mediteranian familial, suatu
penyakit yang diturunkan secara autosomal resesif, ditandai dengan demam dan
peradangan pada sendi.(4,6,12)
5. Amiloidosis Senilis
Sejumlah
kecil amiloid juga dapat ditemukan di jantung, pankreas, otak dan limfa pada
orang usia lanjut.
Frekuensinya
meningkat dengan bertambahnya umur, namun efek klinik jarang terjadi. Pada
stadium akhir diabetes mellitus, amiloidosis timbul pada pulau Langerhans pankreas.
Ini
mungkin merupakan jenis amiloidosis lain yang mengandung polipeptida amiloid
pulau Langerhans yang menunjukkan aktivitas hormonal dan mempengaruhi ambilan
glukosa dalam otot.(4,6)
EFEK PENIMBUNAN AMILOID
Amiloid ditimbun pada jaringan
interstisial, umumnya di dekat membrana basalalis sel dan pembuluh darah kecil.
Jaringan yang terkena amiloidosis biasanya akan membesar (hepatosplenomegali,
kardiomegali, penebalan saraf perifer).(4)
Jaringan
yang terkena juga akan menjadi lebih keras dan kurang kenyal daripada jaringan
normal. Oleh karena itu pembuluh darah yang terkena amiloidosis tidak dapat
berkontraksi seperti pembuluh darah normal dan cendrung berdarah bila terkena
cedera.
Oleh
karena itu saat biopsi diagnostik dapat terjadi perdarahan. Efek klinis dan patologis
amiloidosis dapat ditunjukkan pada gambar berikut:(4)
PATOGENESIS
Terdapat
bukti yang kuat bahwa amiloidosis sistemik mempunyai dasar imunologik.
Amiloidosis
primer diketahui terdiri dari rantai ringan immunoglobulin dan keadaan ini
dapat merupakan suatu bentuk diskrasia sel plasma. Amiloidosis sekunder
biasanya terjadi setelah stimulasi imunologik yang lama seperti infeksi kronik,
misalnya remathoid arthritis.(6)
Meskipun
prekursor kedua protein amiloid utama telah teridentifikasi, beberapa aspek
mengenai etiologinya masih belum jelas.(3)
Pada
amiloidosis sistemik reaktif, sepertinya cedera jaringan dan inflamasi yang
berlangsung lama menyebabkan peningkatan kadar SAA. SAA disintesis oleh sel
hati dibawah pengaruh sitokin, misalnya IL-6 dan IL-1, namun peningkatan
produksi SAA tidak dengan sendirinya cukup untuk mengendapkan amiloid.(3)
Peningkatan kadar SAA serum biasa
terjadi pada saat terjadi radang tetapi pada sebagian besar kasus tidak
menyebabkan amiloidosis. Diyakini bahwa SAA biasanya dipecah oleh enzim yang
berasal dari monosit menjadi produk akhir terlarut. Individu yang mengalami
amiloidosis dipikirkan telah mengalami suatu kelainan enzim yang mengakibatkan
penguraian SAA yang tidak lengkap, sehingga menghasilkan molekul AA yang tidak
dapat larut.(3)
GEJALA
KLINIS
Gejala
klinis amiloidosis sangat bervariasi, tergantung di organ apa yang terjadi penumpukan amiloid, biasanya dapat mengenai
satu atau lebih organ seperti: ginjal, limfa, hati dan jantung.(6,8)
Amiloidosis
dapat ditemukan secara tidak sengaja pada saat otopsi pada seorang yang tidak
memiliki manifestasi klinis yang berkaitan secara nyata.
Keluhannya
tidak khas, seperti kelemahan otot, mudah lelah dan penurunan berat badan, merupakan
gejala awal yang paling lazim terjadi.
Dalam
perjalanan lebih lanjut, amiloidosis cendrung muncul melalui salah satu dari
beberapa cara: melalui penyakit ginjal, hepatomegali, splenomegali atau
kelainan jantung.(3)
Serangan
pada ginjal yang berat menimbulkan proteinuria berat (sindrom nefrotik) sering
kali merupakan penyebab utama munculnya gejala dalam amiloidosis sistemik
reaktif. Perjalan lanjut penyakit ginjal
dapat menyebabkan gagal ginjal yang merupakan penyebab kematian yang penting
pada amiloidosis.(3)
Hepatosplenomegali jarang
menyebabkan disfungsi klinis yang bermakna, tetapi mungkin merupakan gambaran
klinis yang sering muncul. Aritmia jantung merupakan penyebab kematian penting
pada amiloidosis jantung. Pernah dilaporkan 40% pasien amiloid AL meninggal
dunia karena penyakit jantung.(3)
DIAGNOSIS
Diagnosis
amiloidosis dapat diperoleh dari tanda dan gejala klinis namun untuk penegakkan
diagnosis yang pasti, uji yang lebih spesifik harus dilakukan. Biopsi yang
kemudian diikuti dengan pewarnaan merah-Kongo merupakan alat diagnostik yang
paling penting dalam mendiagnosis amiloidosis. Biopsi umumnya diperoleh dari
organ yang dicurigai mengandung amiloid.
Spesimen
biopsi rektum dan gusi mengandung amiloid pada 75% seluruh kasus amiloidosis.(3)
Pemeriksaan
aspirasi lemak abdomen yang diwarnai dengan merah-Kongo merupakan metode yang
sederhana dan beresiko kecil yang dapat digunakan secara luas.(3)
Bagaimanapun
jenis gambaran klinisnya, amiloidosis dapat jelas ataupun tidak jelas pada
pemeriksaan mikroskopis.
Sering
kali endapan amiloid dalam jumlah yang kecil tidak dikenali sampai permukaan
dari pemotongan organ tersebut diwarnai dengan iodium dan asam sulfat yang menghasilkan
warna coklat mahoni.(3)
Jika
amiloid terakumulasi dalam jumlah besar, secara makroskopik akan terlihat organ
sering kali membesar dan jaringan tampak berwarna abu-abu pucat, konsistensi
kenyal dan berkilat seperti lilin.(3,4)
Secara
histologis, pengendapan amiloid selalu dimulai di antara sel, yang sering kali
berdekatan dengan membrana basalis. Karena terakumulasi, amiloid akan
mengganggu sel yang kemudian akan mengitari dan merusak sel. Pada bentuk
amiloid yang disertai imunosit, lokalisasi perivaskular dan vaskular lazim
ditemukan.(3)
Diagnostik
mikroskopik amiloid hampir seluruhnya berdasarkan atas karakteristik
pewarnaannya. Teknik pewarnaan yang paling umum digunakan adalah zat warna
merah-Kongo, yang menghasilkan warna merah muda atau merah pada endapan amiloid
di bawah pencahayaan biasa. DI bawah pencahayaan yang terpolarisasi, amiloid
yang diwarnai dengan merah-Kongo menunjukkan suatu yang disebut pembiasan ganda hijau apel. Reaksi ini diberikan oleh semua bentuk
amiloid yang disebabkan oleh susunan berlipat-lipat-β fibril amiloid.(3,12)
Segala
jenis amiloid, dengan pewarnaan Hematoksilin dan eosin (H&E) akan tampak
warna merah muda yang homogen. Dengan metil violet, amiloid menampilkan
metakromasi, berwarna merah muda. Metakromasi terjadi apabila suatu bahan
tercat warna yang berbeda dengan warna catnya.(4)
Amiloid
juga dapat diwarnai secara imunohistokimia dengan antibodi yang spesifik
terhadap berbagai jenis subtype fibrilnya.(3,4)
Dengan mikroskop elektron dapat
diperoleh ketegasan gambar, yang menujukkan adanya fibril tipis tidak terarah
yang amorf. (3)
PENANGANAN
Penanganan
awal dari amiloidosis dengan melakukan koreksi terhadap kegagalan organ dan
penanganan terhadap apapun penyebab penyakit yang mendasarinya ( seperti: mieloma, infeksi, atau inflamasi). Penyebab
penyakit sering ditemukan setelah
terjadi kerusakan organ yang nyata. Oleh
karena itu, stabilisasi dari fungsi organ menjadi suatu sasaran penanganan awal yang penting. Penyebab
kematian yang paling sering dari
amiloidosis sistemik adalah gagal ginjal.(11)
Amiloidosis yang diwariskan secara
genetik yang disebut demam Mediterania Familial, yang mana ditandai
dengan gejala klinis seperti: demam,
nyeri sendi dan nyeri abdominal.
Keluhan-keluhan ini dapat diredakan dengan pengobatan medikasi Kolkisin. (11)
Kolsikin adalah zat aktif yang diisolasi dari tumbuhan sejenis
kunyit padang rumput (dalam bahasa Yunani Colchicon
berarti tumbuhan musim gugur), dalam klinis biasa diberikan untuk meredakan
penyakit Gouth Arthritis.(10)
Penelitian yang sedang
dilakukan saat ini pada pasien
amiloidosis primer dengan
melakukan uji klinis dengan memakai medikasi kemoterapi kanker (misalnya Melfalan [ Alkeran]), bersama dengan
transplantasi sel induk (Stem Cell) sumsum-tulang. Hasilnyal sangat
menjanjikan, dan penanganan kombinasi ini menjadi alternatif untuk menangani amiloidosis pada pasien-pasien
yang terseleksi, dengan ketentuan bahwa kondisi penyakit yang mendasari
penyakit- nya sudah sangat jelas.
Amiloidosis familial sekarang dapat diobati dengan transplantasi hati.
Pilihan penangangan cara ini membutuhkan
diagnosis yang akurat dari protein spesifik terdeposit yang menyebabkan penyakitnya.(11)
PROGNOSIS
Prognosis pasien amiloidosis pada
umumnya buruk, dengan angka harapan hidup rata-rata setelah diagnosis ditegakkan
berkisar 1 hingga 3 tahun.(3)
Pada pasien amiloidosis sistemik, prognosis
bisa sangat buruk dan sampai saat ini
belum ada pengobatan yang efektif.(4) Pada amiloidosis AA, prognosis hingga batas
tertentu bergantung pada pengendalian kondisi yang mendasari penyakitnya.(3)
Pasien
amiloidosis yang disertai myeloma mempunyai prognosis yang lebih buruk lagi,
meskipun mereka dapat memberikan respon terhadap obat-obat sitostatika yang
digunakan untuk mengobati penyebab penyakit yang mendasarinya. (3)
Uji
coba obat-obatan sitotoksika dan imunosupresif masih terus dilakukan tetapi
hasilnya masih dievaluasi. Amiloid senilis biasanya ditemukan secara kebetulan
pada otopsi, dan biasanya tidak mempunyai efek sistemik.(6)
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Stevens, A., Lowe, J. Pathology,
Second Edition, Mosby, Harcourt Publisher Limited, London, 2000, p 543-548.
2.
Monrad, S.U. et al. Amyloidosis,
Transthyretin-Related, available at:
http://.www.emedicine.com.
3.
Kumar, V. et al. Robbins Basic
Pathology, 8th ed, Saunders Elsevier, Philadelphia, 2007, p 166-171.
4.
Chandrasoma, P., Taylor, C.R. Ringkasan
Patologi Anatomi (Concise Pathology), Edisi 2, EGC, Bandung, 2006, hal 28-31.
5.
Kisilevsky, R. Amyloidosis, In:
Rubin, E., Farber, J.L. Pathology, Second Edition, J.B. Lippincott,
Philadelphia, 1994, p 1163-1174.
6.
Thomson, A.D., Cotton, R.E.
Catatan Kuliah Patologi (Lecture Notes on Pathology), EGC, Bandung,1997, hal
126-128.
11. Amyloidosis
Causes, Diagnosis, Symptoms, and Treatment, available at: http://.www.medicineNet.com.
13. Guidelines
on the Diagnosis and Management of AL Amyloidosis, available at: http://.www.bjhguidelines.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar