Histologi
Kulit Normal dan Perubahan yang Terjadi pada Epidermis
I.
Pendahuluan
Kulit
merupakan organ kompleks yang menutupi seluruh permukaan tubuh. Pada seorang
individu dengan berat sekitar 70 kg, berat kulit sekitar 5 kg (15% dari total
berat badan orang dewasa) dan menutupi area permukaan seluas 2 m2.
Oleh sebab itu kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia.1 Kulit mempunyai
beberapa fungsi vital yaitu sebagai permeabilitas barier, proteksi terhadap
patogen, termoregulasi, sensasi, proteksi ultraviolet, regenerasi, dan
penampilan fisik. Secara garis besar kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu
epidermis, dermis, dan hipodermis (subkutis). Struktur kulit menunjukkan
variasi regional dalam hal ketebalan (bervariasi antara 1–4 mm), distribusi
adneksa kulit serta kepadatan melanosit. Secara embrionik epidermis dan
adneksanya berasal dari ektodermal sedangkan dermis dan hipodermis berasal dari
mesodermal.2
II.
Histologi
kulit normal
II.1 Epidermis
Epidermis
merupakan suatu epitel tatah berlapis yang memperbaharui dirinya sendiri secara
berkesinambungan. Epidermis terdiri dari berbagai tipe sel, mayoritas sel (90–95%)
ialah keratinosit. Sel ini akan bergerak secara progresif dari membrana basalis
menuju permukaan kulit, membentuk beberapa lapisan yang berbatas tegas selama
proses perpindahan ini. Berdasarkan morfologi sederhana, epidermis dapat dibagi
menjadi 4 lapisan yang berbeda yaitu stratum basal atau stratum germinativum,
stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum korneum. Pada beberapa bagian
tubuh misalnya regio palmoplantar, lapisan tambahan yaitu stratum lusidum dapat
terlihat diantara lapisan granular dan korneum. 5–10% sel – sel epidermal merupakan
sel non – keratinosit yaitu sel langerhans, melanosit, dan sel merkels.
Epidermis memiliki ketebalan rata-rata 100 mum, tetapi hal ini bervariasi
sesuai dengan area tubuh (50 mum pada kelopak mata sampai 1 mm pada telapak
tangan dan kaki). 2,3
Stratum
basal (stratum germinativum) merupakan lapisan yang umumnya membentuk suatu
lapisan tunggal tetapi dapat menebal dua atau tiga sel pada kulit glabrosa dan
pada epidermis yang hiperproliferatif. Lapisan ini terdiri dari keratinosit
yang berbentuk kolumnar, berukuran kecil (10-14 nm) disertai dengan nukleus
gelap yang berukuran besar serta sitoplasma padat dengan banyak ribosom dan kumparan
tonofilamen padat (sitoplasmanya lebih basofilik dibanding stratum korneum).
Sel–sel pada stratum basal terhubung satu sama lain serta dengan sel–sel
skuamous yang mendasarinya oleh jembatan interseluler atau desmosom. Pada
bagian dasarnya, sel basal melekat pada zona basalis subepidermal oleh desmosom
yang mengalami modifikasi disebut hemidesmosom. Sebagian besar aktivitas
mitosis pada epidermis manusia yang normal berlangsung pada stratum basalis. 1,2
Tepat
diatasnya terdapat keratinosit epibasal yang membesar yang membentuk stratum
spinosum atau prickle cell layer.
Bentuk, struktur dan komponen subselular dari sel spinosum berhubungan dengan
posisi sel ini pada mid epidermis. Sel pada stratum spinosum bagian suprabasal
berbentuk polihedral dengan nukleus yang berbentuk bulat dengan ketebalan
sekitar lima sampai dengan sepuluh lapis. Sejalan dengan diferensiasi dan
pergerakannya ke bagian atas, sel menjadi lebih pipih dan membentuk organel
yang disebut granul lamellar. Sel–sel ini dipisahkan oleh ruangan yang dilalui
oleh jembatan interseluler. Sel pada stratum spinosum juga terdiri dari
kumparan filamen keratin berukuran besar di sekitar nukleus.1,2
Stratum
granulosum merupakan tempat pembentukan sejumlah komponen struktural yang akan
membentuk barrier epidermal. Pada stratum granulosum, sel–sel berbentuk pipih, berukuran
25 nm serta tersusun secara paralel terhadap permukaan kulit. Sel–sel ini
berisi granul keratohialin intraselular yang sangat basofili, berbentuk
iregular, panjang sekitar 2 nm dan tersusun secara acak. Granul keratohialin
terutama terdiri dari profilaggrin, filamin keratin, dan loricrin. Sitoplasma pada sel–sel dari bagian atas
lapisan spinosum dan granulosum juga terdiri dari granul berlamella yang
berukuran lebih kecil yaitu sekitar 100–300 nm, yang disebut juga granul
lamellar atau Odland bodies. Sejumlah
sel ini terdapat pada bagian teratas dari lapisan spinosum dan bermigrasi
menuju bagian perifer sel pada saat sampai di lapisan granulosum. Mereka
mengeluarkan komponen lipid ke dalam ruang interseluler, yang berperan penting
pada fungsi barrier dan kohesi interseluler pada stratum korneum1,2
Ketebalan
stratum granulosum pada kulit normal umumnya proporsional dengan ketebalan pada
stratum korneum, sekitar 1–3 lapisan sel pada area dimana lapisan korneumnya
tipis namun dapat mencapai 10 lapis pada daerah dengan lapisan tanduk yang
tebal misalnya telapak tangan dan telapak kaki.1
Lapisan
paling luar dari epidermis adalah stratum korneum dimana sel–selnya telah mengalami diferensiasi sempurna yang
ditandai dengan hilangnya nukleus serta organel sitoplasmik sehingga disebut
korneosit. Korneosit berbentuk heksagonal dengan diameter sekitar 30–40 nm
serta tersusun atas matriks keratin yang padat berfilamen. Lapisan ini
berfungsi sebagai proteksi mekanik kulit, barrier terhadap kehilangan air dan
permeasi substansi yang bersifat larut dari lingkungan. 2
II.1.1 Sel langerhans
Sel
langerhans merupakan sel dendritik penyaji antigen yang terdapat pada semua
epitel tatah berlapis yang berasal dari prekursor haemopoetik CD34+ di
sumsum tulang. Sel ini tampak pada epidermis pada minggu ke-7 gestasi dan dapat
dikenali dengan pewarnaan positif terhadap adenosin trifosfat (ATP).4
Walaupun sel ini bukan merupakan sel khusus yang ditemukan pada epidermis,
tetapi populasinya mencapai 2 – 8% populasi sel epidermis. Sel ini akan
menangkap antigen eksogen yang terdapat pada kulit dan kemudian mempresentasikannya
pada sel T naif.
Sel
langerhans berbentuk bulat dengan dendrit yang meluas diantara keratinosit
dimana sel langerhans melekat melalui ikatan homofilik diantara molekul
E-cadherin yang terdapat pada permukaan kedua sel. Dengan pewarnaan
hematoksilin–eosin, sel langerhans tampak sebagai sel jernih pada epidermis
suprabasal. Sel ini sulit dibedakan dengan sel T limfosit intraepidermal dan
makrofag. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, sel langerhans memiliki
sitoplasma yang electron-lucent (pucat)
dan nukleus yang berlobus tanpa adanya tonofilamen atau desmosom. Sel ini
memiliki penanda sitoplasmik yang spesifik yaitu birbeck granule, yang berasal membran sel dan terlibat pada proses
endositosis.5 Gambarannya berupa batang panjang yang berukuran 300 nm–1 µm dengan
struktur trilaminar internal yang menyerupai zipper, terkadang disertai dengan vesikel sehingga menyerupai
bentuk tennis racquet. Beberapa
pewarnaan enzimatik secara histokimia kadangkala diperlukan untuk membedakan
sel langerhans dengan melanosit misalnya adenosin tripospat (ATP) dan
aminopeptidase.1
II.1.2 Melanosit
Melanosit berasal dari neural crest dan umumnya terbentuk pada
minggu ke-8 sampai minggu ke-10 usia gestasional fetus. Sel ini kemudian akan
bermigrasi ke dalam epidermis dimana melanosit akan memproduksi melanin. Dengan
pewarnaan hematoksilin–eosin, melanosit tampak sebagai sel yang tersebar secara
acak pada lapisan basal dengan nukleus berwarna gelap, berukuran kecil serta
sitoplasma yang jernih (Masson’s clear
cells). Sel ini terdistribusi secara teratur diantara sel–sel basal dengan rasio 1
melanosit berbanding 4–10 sel basal. Kepadatannya mencapai 500–2000 sel per mm2
permukaan kulit dengan variasi regional.1,5
Melanosit, berbeda dengan
keratinosit, tidak memiliki tonofilamen atau desmosom. Biasanya sel ini
menggantung (hang down) ke arah
dermis bagian atas, dipisahkan dari matriks ekstraseluler oleh zona membrana
basalis. Melanosom merupakan organel yang khas pada melanosit. Melanosom dalam
perkembangannya dari stadium I sampai IV secara perlahan bergerak dari
sitoplasma pada melanosit ke prosesus dendritik.1
Pada orang yang berkulit putih,
pewarnaan dengan hematoksilin eosin umumnya hanya menunjukkan beberapa atau
bahkan tidak terdapatnya granul melanin pada lapisan sel basal. Pada individu
yang berkulit gelap misalnya ras Afrika, granul melanin terdapat pada lapisan
basal serta pada epidermis yaitu lapisan korneum dan pada lapisan atas dermis (di
dalam makrofag) yang disebut dengan melanophage.4
Konsentrasi melanosit yang
tertinggi ditemukan pada daerah wajah dan genital pria yatiu sekitar 2000/mm2
dan paling rendah pada batang tubuh sekitar 800/mm2. Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada kepadatan distribusi melanosit diantara kulit
ras Afrika – Amerika dengan ras Kaukasia. Variasi regional pada jumlah dan
morfologi melanosit juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan misalnya paparan
terhadap sinar ultraviolet.6
II.1.3 Sel
Merkel
Sel
merkel, yang terbentuk sekitar 8 dan 12 minggu usia gestational, berasal dari
prekursor sel-sel
epidermal fetal yang masih mengekspresikan sitokeratin epitel yang sederhana.5
Sel merkel memiliki gambaran neuroendokrin dan epitelial yang berasal dari neural crest atau sel punca epidermal.
Sel ini berfungsi sebagai mekanoreseptor yang berkontak dengan akson sensoris
dermal membentuk taut sinaptik.
Sel
ini terletak di lapisan basal epidermis pada bagian tertentu tubuh termasuk
kulit berambut serta kulit glabrosa pada jari–jari, bibir, kavitas oral, dan
lapisan luar folikel rambut.7 Kepadatannya menunjukkan variasi
regional dengan distribusi yang ireguler dan susunan yang berkelompok. Dengan
menggunakan mikroskop elektron, sel merkel akan mudah dikenali oleh adanya
granul neurosekretori yang berbentuk bulat, berukuran sekitar 80-120 nm dengan inti
padat yang dikelilingi oleh halo dan membran tunggal. Membran plasma pada sel
merkel memiliki desmosom berukuran kecil yang menghubungkan sel ini dengan
keratinosit di dekatnya. Seperti halnya sel non-keratinosit lainnya sel ini
juga memiliki sitoplasma yang pucat. Penanda imunohistokimia sel ini yaitu
peptida keratin K8, K18, K19 dan K20. K20 terbatas pada sel merkel kulit, oleh
sebab itu merupakan penanda yang dapat diandalkan.8
II.2 Taut dermal –
epidermal
Taut
dermal – epidermal (DEJ)
merupakan zona membrana basalis yang membentuk permukaan diantara epidermis dan
dermis. Fungsi utama DEJ untuk melekatkan epidermis dan dermis satu sama lain
dan membentuk resistensi melawan external
shearing force. Taut ini berperan sebagai penyokong epidermis, menentukan
polaritas penyembuhan, mengatur penyusunan sitoskeleton pada sel–sel basal dan
berperan sebagai barrier semipermeabel.9
DEJ
tidak dapat terlihat dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin–eosin, namun
dapat dilihat dengan pewarnaan periodic acid schiff (PAS). Pada pewarnaan PAS,
DEJ tampak sebagai lapisan hoomogenus dengan ketebalan 0.5–1 µ. Dengan
menggunakan mikroskop cahaya, DEJ akan tampak sebagai zona undulasi yang sulit
terlihat dengan menggunakan pewarnaan biasa. DEJ terdiri dari empat lapisan
berbeda yaitu (dari bagian atas ke bawah) membran sel dari keratinosit basal
dengan hemidesmosomnya, lamina lusida, lamina densa yang osmiofilik dan zona
filamen sub-basal lamina.10
II.3 Dermis
Dermis
merupakan suatu sistem terintegrasi yang terdiri dari elemen jaringan ikat
fibrosa, filamentosa, difus dan selular yang didalamnya mengakomodasikan syaraf
serta jaringan vaskular, adneksa kulit yang berasal dari epidermal, dan
berbagai sel residen termasuk fibroblast, makrofag, sel mast dan sel–sel sistem
imun yang bersirkulasi secara transien.2 Dermis merupakan komponen
utama dari kulit yang memegang peranan penting dalam elastisitas dan tensile strenght. Lapisan ini melindungi
tubuh dari trauma mekanik, mengikat air, dan regulasi suhu serta reseptor
stimulus sensoris. Dermis tersusun ke dalam dua bagian besar yaitu dermis pars
papilaris di bagian atas dan dermis pars retikularis yang terletak lebih dalam.
Dua regio ini berbeda secara histologi
dalam hal susunan jaringan ikat, densitas sel dan pola syaraf serta
pembuluh darah. 5
II.3.1 Matriks
ekstraseluler pada dermis
Matriks jaringan ikat pada dermis
terutama teridiri dari kolagen dan jaringan ikat elastik. Kedua jaringan ini
bergabung dengan molekul jaringan ikat non fibrosa lainnya yaitu glikoprotein,
proteoglikan (PGs) dan glikosaminoglikan (GAGs) dari substansi dasar.2
Lebih dari 90% fiber pada dermis
terdiri dari kolagen interstisial, terutama kolagen tipe I dan tipe III yang
berperan pada resistensi mekanik kulit. Kolagen menempati 98% massa total
dermis yang kering. Secara ultrastruktural, serabut kolagen memiliki diameter
sebesar 100 nm serta tersusun dalam
kumparan yang longgar pada dermis pars papilaris dan menjadi lebih tebal pada
dermis yang lebih dalam. Terdapat beberapa jenis kolagen lain yang terdapat
pada dermis yaitu kolagen tipe IV (taut dermal-epidermal, membrana basalis
adneksa kulit, pembuluh darah, otot dan syaraf) dan kolagen tipe VII
(mengaitkan serabut pada taut dermal-epidermal).4
Serabut
elastik terbentuk pada dermis pada minggu ke-22 gestasi, lebih lambat daripada
seraut kolagen. Jaringan ikat elastik merupakan jaringan kompleks molekular
yang membentuk jaringan berkesinambungan dari lamina densa pada taut
dermal-epidermal melewati dermis ke dalam jaringan ikat yang terdapat pada hipodermis.
Serabut elastik akan mengembalikan kulit ke konfigurasi normalnya setelah
diregangkan. Jaringan ini menempati sekitar 4% dari protein matriks dermal.
Pada dermis pars papilaris, serabut elastin lebih tipis (serabut ealunin –
oxytalan) tetapi menjadi lebih tebal pada dermis pars retikulari, dimana
serabut ini biasanya tersusun horizontal.5
Serabut
elastik terdiri dari 2 komponen yaitu mikrofibril dan matriks elastin.
Mikrofibril bersifat padat elektron
dan berukuran 10 nm–12 nm. Sel ini tersusun pada bagian perifer serabut
elastik. Selain itu mikrofibril juga terdapat di dalam elastin sebagai benang
dengan diamterer 15 nm–80 nm yang tersusun longitudinal. Dengan menggunakan
mikroskop elektron, serabut elastik menunjukkan variasi bergantung pada usia
dan area tubuh yang dinilai. Serabut ini
memiliki kontur yang iregular dan terbuat dari matriks sentral yang amorfous,
terdiri dari elastin dan dikelilingi oleh sejumlah mikrofibril yang terbuat
dari fibrilin.3
II.3.2 Komponen
selular pada dermis
Fibroblast,
makrofag dan sel mast merupakan residen tetap yang terdapat pada dermis, terutama
di sekitar regio papilaris dan sekitar pembuluh darah pada pleksus
subpapilaris. Sel-sel ini juga terdapat pada dermis pars retikularis
diantara kumparan kolagen.2
Fibroblast
merupakan sel yang berasal dari mesenkim yang bermigrasi melewati jaringan.
Berperan terutama pada sintesis dan degradasi matriks protein jaringan ikat
fibrosa dan non-fibrosa dan sejumlah faktor solubel. Secara histologi, tampak
sebagai sel yang berbentuk spindle
atau stellate yang terdiri dari retikulum
endoplasmik yang kasar dan nukleus ovoid yang mengalami elongasi. Sel ini dapat
diidentifikasi dengan menggunakan antibodi vimentin dan enzim proline-4-hydroxylase.1
Monosit,
makrofag dan dendrosit dermal merupakan sel–sel mononuklear pada sistem
fagositosis di kulit. Makrofag, disebut juga histiosit, berasal dari prekursor
sum–sum tulang belakang, bersirkulasi dalam darah sebagai perkursor dan masuk
ke dalam jaringan sebagai
monosit. Dengan stimulasi yang tepat, monosit dapat berkembang menjadi makrofag
di kulit. Monosit tidak dapat dibedakan
dengan limfosit pada pewarnaan biasa, kedua sel ini memiliki nukleus bewarna
gelap, berukuran kecil dengan sedikit sitoplasma. Sel ini berperan sebagai sel
penyaji antigen dan fagosit. Makrofag berukuran lebih besar dibandingkan dengan
monosit, berukuran sekitar 20–80 µm dengan nukleus vesikuler dan bewarna muda. Sel
dendrosit dermal, yang berbentuk spindle, seringkali menyerupai fibroblast pada
pewarnaan rutin. Oleh sebab itu kadangkala diperlukan pemeriksaan
imunohistokimia.2
Sel
mast merupakan sel mononuklear yang berasal dari sum–sum tulang belakang.
Terdistribusi pada dermis perivaskular dan periadneksal. Sel ini berbentuk oval
sampai dengan spindle dengan nukleus
berbentuk bulat atau oval yang terletak pada bagian tengah. Sel ini biasanya
diwarnai dengan menggunakan pewarnaan toluidin
blue dan secara imunohistokimia dengan antibodi terhadap chymase dan tryptase. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, sel mast memiliki membran sel yang villous dan memiliki karakteristik
granuls sitoplamik dengan struktur dalam tubuloretikular.4
II. 4 Aliran
darah pada kulit
Kulit,
kecuali pada epidermis, terdiri dari jaringan yang kaya pembuluh darah yang
berperan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi, pengaturan termoregulasi,
penyembuhan luka serta reaksi imun. Pembuluh darah kulit terdiri dari arteri,
vena serta pembuluh limfatik yang berasal dari arteri perforator yang juga
berasal dari pembuluh darah pada otot dan membentuk dua pleksus horizontal yang
berhubungan melalui pembuluh darah yang melewati dermis secara vertikal.1,4,5
Pleksus
superfisial berasal dari arteriol terminal, terletak diantara dermis papilaris
dan dermis retikularis serta
memperdarahi setiap papila dermal dengan suatu lengkung vaskular secara
vertikal ke permukaan. Pleksus bagian dalam terletak berdekatan dengan taut
dermal – epidermal dan memberikan
nutrisi pada kelenjar keringat dan folikel rambut.11
Sistem
limfatik berperan penting dalam regulasi tekanan cairan interstisial,
pengaturan cairan interstisial dan reaksi imun. Berawal dari tubulus
prelimfatik membentuk pleksus superfisial pada dermis subpapilaris dan pleksus
bagian dalam. Pembuluh darah limfatik sulit dilihat pada kulit yang normal,
menjadi lebih jelas terlihat apabila terjadi peningkatan tekanan interstisial.
Pembuluh darah limfatik paling baik dilihat dengan menggunakan pewarnaan orcein
atau dengan pewarnaan imunohistokimia. Pembuluh darah limfatik tampak seperti
sel yang iregular atau kavitas dengan berbagai bentuk. Pembuluh ini dilapisi
dengan lapisan sel–sel endhotelial yang pipih, sitoplasma yang banyak dan
nukleus yang prominen.2,12
II.5 Persyarafan
pada kulit
Kulit
memiliki inervasi yang kompleks yang terdiri dari serabut aferen dan serabut
eferen. Serabut aferen (persyarafan sentripetal) mempersyarafi sistem
serebrospinal dan berperan pada persepsi yang berasal dari luar (sentuhan,
tekanan, vibrasi, nyeri, temperatur).1 Fungsi ini diperantarai oleh
jaringan sensori dari serabut yang bermielin atau serabut yang tidak bermielin,
ujung syaraf terminal yang bebas, dan tactile
corpuscles (Wagner-Meissner, Pacini, Krause). Serabut eferen (persyarafan
centrifugal) didukung oleh serabut tidak bermielin atau sistem simpatetik yang
mengatur vasomotor, sekresi keringat dan piloereksi.
Secara
histologi, ujung syaraf motorik dan sensorik tidak dapat dilihat dengan
menggunakan pewarnaan rutin. Persyarafan dermis dapat dikenali oleh gambaran
undulasi, syaraf ini terdiri dari akson yang dikelilingi sel schwann dan
fibroblast perineural.
Reseptor
corpuscular yaitu Meissner dan Pacinian, terdiri dari satu kapsul dan inti
dalam serta komponen neural dan non
neural. Badan Meissner merupakan mekanoreseptor berbentuk ovoid yang terletak
pada dermal papila pada kulit jari – jari dan tersusun vertikal mengarah ke
permukaan epidermal.2
Badan
Pacinian terletak pada dermis bagian dalam dan jaringan subkutan pada kulit.
Pacinian memiliki kapsul dan pembungkus lamellar. Kapsul perineural tersusun
menjadi 30 atau lebih lapisan sel konsentrik dan jaringan ikat fibrous. Pada
bagian tengah zona subkapsular terdiri dari kolagen dan fibroblast, dan bagian
dalam inti terdiri dari hemilamela yang berasal dari sel schwann.2,4
II.6 Hipodermis (subkutis)
Jaringan pada hipodermis berperan
sebagai insulator terhadap tubuh, mensuplai energi, pelindung kulit dan
mobilitas terhadap struktur yang terletak di bawahnya.4,5 Batas
diantara dermis retikularis dan hipodermis merupakan suatu transisi dari jaringan
ikat fibrous dermal yang predominan menjadi adiposa subkutan.
Adiposit merupakan sekumpulan sel
yang membentuk hipodermis. Sel ini tersusun menjadi lobulus yang dibatasi oleh
septa dari jaringan ikat fibrosa. Adiposit memiliki nukleus yang eksentrik dan
vakuola tunggal berukuran besar dalam sitoplasma yang mengandung lemak.13
Syaraf, pembuluh darah, dan sistem limfatik tereltak di dalam septa dan
mensuplai regio ini. Sintesis dan penyimpanan lemak terjadi secara berkesinambungan
selama hidup dengan meningkatkan akumulasi lipid pada sel lemak, proliferasi
dari adiposit yang ada atau dengan menarik sel –sel baru dari mesenkim yang
tidak berdiferensiasi. 2
II.7 Struktur adneksa kulit
Kulit
terdiri dari struktur epidermis yang dapat dianggap sebagai invaginasi dari
permukaan yang tertanam di dermis. Struktur ini terdiri dari folikel rambut,
kelenjar ekrin dan apokrin.13
II.7.1 Folikel pilosebaseus
Folikel
rambut tersusun di seluruh permukaan kulit kecuali pada telapak tangan dan
telapak kaki, mukosa genital dan vermilion bibir. Pertumbuhan rambut bersifat asynchronous
pada manusia tetapi synchronous pada
mamalia tingkat rendah. Fase pertumbuhan secara garis besar terdiri dari fase
anagen, yang merupakan fase terpanjang pada siklus rambut, dilanjutkan dengan
fase katagen (fase transisi) dan fase telogen (fase istirahat).14
Batang
rambut tumbuh dari jaringan epidermal yang sangat aktif yang dikenal dengan
matriks rambut. Batang rambut keluar dari saluran folikel, yang terbuat dari
sejumlah pembungkus epidermal. Seluruh struktur folikel rambut mendapatkan
nutrisi dari jaringan ikat papilla seluler dan vaskular yang berada pada dasar
matriks.4
Kelenjar sebaseus merupakan kelenjar
holokrin multilobus yang mensekresikan
substansi yang kaya lipid yang disebut dengan sebum, ke dalam kanal rambut yang
fungsinya untuk melubrikasi rambut.
Kelenjar ini tersusun atas lapisan luar basal sel dan beberapa lapisan
sel lipid-laden yang matang dengan sitoplasma yang foamy. Tiap lobus sebaseus terdiri dari lapisan perifer sel–sel
basofilik berbentuk kuboidal yang biasanya tidak mengandung droplet lipid.
Sel–sel yang
terlentak lebih ke bagian sentral mengandung droplet lipid, sedangkan nukleus
terletak di bagian sentral sel.
Muskulus arektor pili merupakan otot
polos yang berasal dari papila dermis yang meluas secara obliq ke dalam folikel
rambut pada level buldge. Otot ini terdiri dari sel –sel elongasi dengan
sitoplasma yang eusinofilik, mengekspresikan desmin dan aktin spesifik. Pada
saat distimulasi oleh serabut syaraf simpatik, otot ini menyebabkan hair stand on end sehingga meningkatkan
barrier termal.2
II.7.2 Kelenjar keringat
Terdapat dua tipe kelenjar keringat
yang terdapat pada manusia yaitu ekrin dan apokrin.13 Ekrin
merupakan kelenjar keringat utama yang berperan penting dalam proses
termoregulasi. Kelenjar ini terdapat hampir pada seluruh kulit (tidak terdapat
pada mukosa membran) dengan densitas maksimal pada telapak tangan, kaki, aksila
dan dahi. Kelenjar ekrin terdiri dari tiga segmen utama yaitu duktus
intraepidermal, duktus intradermal dan bagian sekretori. Duktus epidermal
terdiri dari lapisan tunggal sel–sel luminal dan 2 atau 3 baris outer cells.
Duktus intradermal ekrin terdiri dari 2 lapis sel epitel kuboidal, basofilik
dan berukuran kecil. Kumparan sekretorinya merupakan suatu tabung yang
dikelilingi dermal dendrosit dan serabut syaraf kolinergik yang tidak bermielin
serta terletak di demis bagian dalam dan taut dermal-hipodermal. Secara
histologi tersusun dari 1–2 barisan sel
sekretori yang jernih atau gelap.1,15
Kelenjar
apokrin secara embriologi berasal dari germinal epitel primer yang juga
memproduksi folikel pilosebaseus. Seperti halnya pada kelenjar ekrin, kelenjar
apokrin juga terdiri atas 3 segmen. Pada kulit manusia, apokrin ditemukan pada
regio aksila, anogenital dan areola mammae. Kelenjar ini terdiri dari kumparan
sekretori yang berukuran lebih besar dan iregular bentuknya dibandingkan dengan
ekrin. Kelenjar ini terletak di dermis
bagian dalam. Sel sekretori berbentuk kolumnar atau piramidal dengan lapisan
sel mioepitelial di sekelilingnya. Kanalis ekskretorinya pendek, dilapisi
dengan lapisan sel ganda dan ekskresinya
ke dalam kanalis pilaris (diatas kelenjar sebaseus).1,15
II.7.2 Kuku
Kuku
melapisi aspek dorsal falangs pada jari tangan dan jari kaki. Secara anatomis
kuku dibagi menjadi enam bagian utama;
matriks kuku yang nantinya akan membentuk lempeng kuku, lempeng kuku, sistem
kutikula (kutikula dan hiponikium), bantalan kuku (dermis kuku, tulang, serta
jaringan lunak yang terdapat di bawah lempeng kuku), ligamen dan lipatan
kuku. Kuku terletak pada nail bed, yang
merupakan jaringan ikat yang kaya vaskular. Bagian proksimal nail bed
berkesinambungan dengan matriks kuku yang berperan dalam pertumbuhan kuku.4,5
I.
Perubahan
– perubahan yang terjadi pada epidermis
Secara
patofisiologi, kulit dapat dibagi menjadi tiga unit reaktif yang bersifat
tumpang tindih serta dapat dibagi lagi menjadi beberapa subunit yang berbeda
yang memberikan respon terhadap stimulus patologik berdasarkan kapasitas mereka
dengan pola yang terkoordinasi.
Unit
reaktif superfisial terdiri dari subunit epidermis, zona junctional, jaringan
ikat longgar yang terdiri dari badan papilari serta jaringan kapiler, dan
pleksus venular superfisial. Lapisan retikular dermis merepresentasikan unit
reaktif lainnya, terdiri dari jaringan ikat dan pleksus vaskular dermis lebih
dalam. Unit reaktif terakhir ialah jaringan subkutan, bersifat heterogenus
secara anatomik dan fungsional. Folikel rambut dan kelenjar merupakan unit
reaktif terpisah yang terdapat di dalam ketiga unit dasar yang telah disebutkan
sebelumnya.17
III.1 Gangguan
pada kinetik sel epidermal
Laju
mitosis sel–sel germinatif, laju deskuamasi korneosit dan waktu pembentukan sel
epidermal menentukan homeostasis epidermis. Pada kondisi fisiologis, terdapat
keseimbangan pada proliferasi, diferensiasi dan deskuamasi. 17
Hiperkeratosis
menunjukkan peningkatan ketebalan dari stratum korneum. Hal ini dapat terjadi
pada berbagai penyakit dengan gangguan keratinisasi misalnya keratoderma serta beberapa
jenis iktiosis.16
Hipergranulosis adalah peningkatan
ketebalan pada lapisan granular dari epidermis dan seringkali disertai dengan
hiperkeratosis dan akantosis
misalnya pada likenifikasi kronik dan liken planus.
Terjadinya
peningkatan proliferasi sel yang disertai membesarnya kumpulan sel germinatif
serta peningkatan laju mitotik menyebabkan terjadinya peningkatan populasi sel
epidermal dan selanjutnya penebalan epidermis yang disebut dengan akantosis.16,17
Gangguan pada rasio antara sel yang berada dalam fase istirahat dan fase
proliferasi misalnya pada kasus psoriasis akan menyebabkan peningkatan waktu turnover seluruh epidermis dan
peningkatan volume sel germinatif yang harus diakomodasikan pada taut
dermal-epidermal. Hal ini menyebabkan terjadinya elongasi rete ridges yang disertai dengan elongasi kompensasi dari jaringan
ikat papila yang menyebabkan pembesaran dermal-epidermal
interface.16
III.2 Gangguan
pada diferensiasi sel epidermis
Contoh
sederhana dari gangguan diferensiasi epidermis ialah parakeratosis yang
ditandai dengan terjadinya peningkatan kornifikasi sehingga menyebabkan retensi
nukleus piknotik yang terdapat pada sel epidermal.16-18
Parakeratosis menggambarkan terjadinya gangguan keratinisasi dan biasanya
berhubungan dengan absennya atau berkurangnya ketebalan lapisan sel granular. Stratum korneum yang
mengalami parakeratosis bukan merupakan lapisan sel–sel bertanduk yang padat
melainkan struktur yang longgar dengan celah antar sel, celah ini menyebabkan
terganggunya fungsi barier epidermis.
Parakeratosis
dapat terjadi oleh karena diferensiasi yang tidak sempurna pada sel–sel
germinatif paska mitosis. Parakeratosis juga dapat disebabkan oleh berkurangnya
waktu transit yang menyebabkan sel epidermal tidak dapat melengkapi seluruh
proses diferensiasi misalnya pada psoriasis. Pada kondisi inflamasi kronik
dimana turnover epidermis tidak
dipengaruhi, parakeratosis jarang terjadi.16
Diskeratosis merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan terjadinya kornifikasi prematur pada sel–sel epidermal.16-18 Saat ini telah dimengerti bahwa diskeratosis
merepresentasikan gambaran morfologik dari
apoptosis keratinosit. Sel yang mengalami
diskeratosis memiliki sitoplasma yang eusinofilik serta nukleus piknotik dan
dipenuhi dengan filamen keratin yang tersusun dalam agregat perinuklear. Sel
dengan gambaran tersebut akan kehilangan ikatan dengan sel yang terdapat di
sekelilingnya. Oleh karena itu diskeratosis biasanya disertai dengan
akantolisis. Pada beberapa penyakit, diskeratosis menunjukkan gangguan keratinisasi
yang terprogram secara genetik misalnya pada penyakit Darier.20 Diskeratosis
juga dapat ditemukan pada aktinik keratosis dan karsinoma sel skuamosa.
III.3 Gangguan
pada kohesi epidermal
Kohesi epidermal terjadi oleh karena adanya keseimbangan antara
pembentukan dan pemisahan kontak interseluler. Bahan pelekat interseluler yang
spesifik (desmosom) dan substansi interseluler bertanggung jawab terhadap
kohesi interseluler. Desmosom akan berdisosiasi
dan kembali terbentuk pada tempat kontak interseluler yang baru pada saat sel
bermigrasi melalui epidermis.17
Gangguan kohesi epidermal yang paling sering terjadi ialah
terbentuknya vesikel intraepidermal, suatu kavitas kecil yang berisi cairan. Terdapat
tiga pola morfologi dasar vesikel
intraepidermal. Spongiosis merupakan salah satu contoh hilangnya kohesi secara
sekunder diantara sel–sel epidermal oleh karena influks cairan dari jaringan ke
dalam epidermis.16-18 Spongiosis disebut juga dengan edema
interseluler, menggambarkan melebarnya celah interselular diantara keratinosit
oleh karena terjadinya akumulasi cairan. Jika terjadi peningkatan edema
interselular, sel–sel individual akan ruptur dan lisis sehingga terbentuk
mikrokavitas (vesikel spongiotik). Bersatunya beberapa mikrokavitas akan
membentuk lepuh yang berukuran besar. Sel – sel epidermal juga dapat dipisahkan
oleh leukosit yang dapat mengganggu koherensi intraepidermal.17
Akantolisis merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan hilangnya kohesi diantara sel–sel keratinosit
secara primer.16-18 Awalnya ditandai dengan separasi pada regio
interdesmosomal dari membran sel keratinosit kemudian diikuti dengan pemisahan
dan hilangnya desmosom. Sel–sel tetap intak tetapi tidak lagi melekat. Terjadi
celah interseluler dan influks cairan dari dermis sehingga terbentuk kavitas
baik secara suprabasal, midepidermal atau subkorneal.
Akantolisis terjadi pada sejumlah proses
patologi yang berbeda–beda. Akantolisis dapat terjadi secara primer yang
menyebabkan terbentuknya kavitas intraepidermal (akantolisis primer) atau
fenomena sekunder dimana sel–sel epidermal terlepas dari dinding bula
intraepidermal (akantolisis sekunder). Akantolisis primer terjadi pada kelompok
penyakit pemfigus, dimana terjadi interaksi antara autoantibodi dan antigen
pada membran keratinosit dan pada penyakit staphylococcal scalded skin syndrome, yang disebabkan oleh
epidermolisin.21 Akantolisis sekunder dapat ditemukan pada perubahan
patologis yang disebabkan oleh gangguan atau kerusakan pada sel epidermal
misalnya pada impetigo bulosa, penyakit virus, solar keratosis dan beberapa
bentuk karsinoma sel skuamosa.
III. 4 Perubahan–perubahan
lainnya pada epidermis
Degenerasi hidrofik ialah terbentuknya rongga pada bagian bawah
atau di atas membrana basalis yang dapat bergabung dan berisi serum sehingga
dapat merusak susunan stratum basal menjadi tidak teratur. Degenerasi balon
ialah edema di dalam sel epidermis sehingga sel menjadi besar dan berbentuk
bulat, seringkali disebut juga dengan degenerasi retikuler. Perubahan ini
merupakan karakteristik dari penyakit virus yang mengenai epitel misalnya
infeksi virus herpes.16
Eksositosis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
migrasi sel–sel inflamasi dari pembuluh darah di dermis ke epidermis. Proses
ini dapat disertai dengan adanya spongiosis misalnya pada dermatitis atau tanpa
spongiosis misalnya pada mikosis fungiodes.
I.
Kesimpulan
Kulit
merupakan organ terbesar pada tubuh, yang menempati sekitar 15 % berat tubuh
total orang dewasa. Berkat susunan strukturnya, kulit memiliki berbagai fungsi
protektif yang vital terhadap lingkungan sekitar. Secara garis besar kulit dapat
dibagi menjadi tiga lapisan utama yaitu epidermis, dermis dan subkutis, dimana
tiap–tiap lapisan memiliki berbagai sel
dengan fungsinya masing–masing. Merupakan suatu hal yang sulit untuk memahami
abnormalitas yang terjadi pada kulit tanpa terlebih dahulu memahami struktur
kulit yang normal. Oleh sebab itu diperlukan pemahaman yang baik mengenai
struktur kulit normal.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Kanitakis J. Anatomy, histology and immunohistochemistry of normal human
skin. European Journal of Dermatology 2002; 12:
390-401.
2.
Chu HD. Overview of
biology, development, and structure of skin. Dalam Wolf K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor.Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill;2008. h.57-72.
3.
Smoller RB, Hiatt KM. Normal cutaneous histology. Dalam dermatopathology
the basics. Edisi pertama. London:Springer;2009.h.1-30.
4.
McGratch JA, Uittu J. Anatomy and organization of human skin. Dalam
Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editor. Rook’s textbook of
dermatology. Edisi ke-8. London: Wiley-Blackwell;2010. h.53-106.
5.
Murphy G. Histology of
the skin. In: Elenitsas R, Jaworsky C, Johnson B, eds. Lever's Histopathology of the Skin. Philadelphia:
Lippincott-Raven, 1997: 5-50.
6.
Hendi A, Brodland DG, Zitelli JA. Melanocytes in Long-standing
Sun-Exposed Skin Quantitative Analysis
Using the MART-1 Immunostain. Arch Dermatol. 2006;142:871-876.
7.
Polakovicova S, Seidneberg H, Mikusova R et al.
Merkels cells- review on its developmental, functional and clinical aspects.
Bratisl Lek Listy 2011; 112(2): 80-87.
8.
Koljonen V. Merkels cell carcinoma. World journal of surgical oncology.
2006;4-7.
9.
Marks R. An introduction to skin and skin disease. Dalam Roxburgh common
skin diseases. Edisi ke-17. Oxford university press inc;2003.h.1-10.
10. Burgeson RE, Christiano MA. The dermal epidermal
junction. Current opinion in cell biology 1997;9:651-658.
11. Braverman
I. The cutaneous microcirculation. J
Invest Dermatol Symp Proc 2000; 5: 3-9.
12. Skobe
M, Detmar M. Structure, function and molecular control of the skin lymphatic
system. J Invest Dermatol Symp Proc 2000;
5: 14-9.nion i
13. Wasitaatmadja
SM. Anatomi dan Faal kulit. Dalam Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-5. Balai penerbit FK UI Jakarta;2007.h.1-8.
14. Coatarelis
G, Botc KV. Biology of Hair Follicles. Dalam Freedberg IM, Elsen AZ, Wolf K,
Austin KI, Goldsmith LA, Katz SI,et al, editors. Fitzpatrick dermatology in
general medicine. Edisi ke 7. New york; McGraw-Hill, 2008. Hal 739 – 749.
15. Wilke K, Martin A, Terstegen L, Biel SS. A short
history of sweat gland biology. International journal of cosmetic science
2007;29:169-179.
16. Calonje
E. Histopathology of skin : General principles. Dalam : Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C, editor. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. London:
Wiley-Blackwell; 2010.h.241-284.
17. Mihm
CM, Kibbi AG, Wolff K. Basic pathologic reactions of the skin. Dalam Wolf K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editor.Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York:
McGraw Hill;2008.h.43-47.
18. Sularsito SA. Histopatologi kulit. Dalam
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
ke-5. Balai penerbit FK UI Jakarta;2007.h.23-33.
19. Chia
A, Moreno G, Lim A, Shumack S. Actinic keratoses. Aust Fam Physician. 2007
Jul;36(7):539-43.
20. Hovnanian
A. Acantholytic disorders of the Skin : Darier-White Disease, Acrokeratosis
verruciformis, Grover Disease, and Hailey-Hailey Disease. Dalam Wolf K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editor.Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York:
McGraw Hill;2008.p.432-6
21. Tuderman
LB, Stanley JR. Disorders of Epidermal and Dermal-Epidermal Cohesions and
Vesicular and Bullous Disorders. Dalam Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill ;2008.h.447-57.
Pengelupasan sel epidermis
BalasHapusdisebut deskuamasi